ECONOMICS

Alokasi Subsidi Energi RI Diproyeksi Melonjak Jadi Rp320 Triliun Imbas Tarif Trump

Iqbal Dwi Purnama 16/07/2025 12:19 WIB

Alokasi subsidi energi pemerintah bakal melonjak di angka Rp300-320 triliun pada 2026 imbas kesepakatan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.

Alokasi Subsidi Energi RI Diproyeksi Melonjak Jadi Rp320 Triliun Imbas Tarif Trump. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menilai alokasi subsidi energi pemerintah bakal melonjak di angka Rp300-320 triliun pada 2026 imbas kesepakatan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Bima menjelaskan kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi tersebut memang menurunkan tarif yang sebelumnya dikenakan untuk Indonesia ke Amerika dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen.

Namun, kesepakatan tersebut juga mencakup barang dari Amerika yang masuk ke Indonesia dibebaskan tarif hingga 0 persen.

Menurutnya, hasil kesepakatan tersebut memang mendorong Indonesia untuk belanja lebih banyak produk dari Amerika, terutama untuk belanja migas, elektronik, suku cadang pesawat, hingga produk serealia seperti gandum dan sebagainya.

"Yang harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam," ujar Bima saat dihubungi IDX Channel, Rabu (16/7/2025).

Bima mengatakan dampak meningkatkan belanja minyak dari Amerika Serikat ini akan membuat pemerintah merogoh kocek lebih dalam pada 2026 untuk memberikan subsidi energi. Sebab pemerintah memproyeksikan alokasi subsidi energi di angka Rp203,4 triliun pada tahun depan, tentu tidak cukup jika harus belanja ke AS.

"Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar," tambahnya.

Lebih jauh, Bima mengatakan kondisi ini akan membuat defisit migas menjadi lebih besar. Sehingga, menurutnya, pemerintah perlu mempercepat transisi energi untuk menggantikan ketergantungan energi fosil yang harganya cukup fluktuatif dan menguras APBN.

>

"Ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN, dan ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang," kata Bima.

"Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," tambahnya.

Kesempatan berbeda, Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su menilai hasil kesepakatan yang dibuat pemerintah terkait negosiasi ini lebih banyak yang menguntungkan Amerika Serikat. Secara sederhana, menurutnya, Indonesia justru membuka seluruh pasarnya untuk AS.

"Kalau ayam dari AS masuk ke Indonesia, para pelaku usaha unggas lokal kita pasti akan mati semua, yang berarti sekitar 5 juta pekerjaan hilang seketika. Mudah-mudahan industri unggas Indonesia masih bisa dilindungi dengan pengertian situasi ini oleh Trump," kata Harry dalam keterangan tertulis.

(Febrina Ratna Iskana)

SHARE