ECONOMICS

APBI Proyeksikan Pasar Ekspor Batu Bara Capai 1,069 Miliar Ton di 2026

Yanto Kusdiantono 27/11/2025 16:40 WIB

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memproyeksikan permintaan ekspor batu bara global masih menunjukkan pertumbuhan moderat.

APBI Proyeksikan Pasar Ekspor Batu Bara Capai 1,069 Miliar Ton di 2026. (Foto Istimewa)

IDXChannel Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memproyeksikan permintaan ekspor batu bara global masih menunjukkan pertumbuhan moderat. Kebutuhan pasar ekspor diperkirakan mencapai sekitar 1,069 miliar ton pada 2026, atau tumbuh sekitar 0,5 persen.

Angka ini mengonfirmasi bahwa batu bara tetap menjadi sumber energi andalan dalam jangka pendek dan menengah bagi banyak negara. 

Menurut asosiasi yang beranggotakan 157 perusahaan itu, permintaan dari pasar seperti China dan India akan tetap stabil dan kuat, didorong kebutuhan energi untuk pemulihan industri dan pertumbuhan ekonomi meskipun berangsur menurun.

“Di tengah peluang ekspor tersebut, komitmen anggota APBI-ICMA (Indonesian Coal Mining Association) dalam memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) tidak berubah. Pemenuhan pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya sektor ketenagalistrikan, tetap menjadi prioritas untuk menjaga ketahanan energi nasional,” ujar Ketua Umum APBI-ICMA Priyadi di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

Dia menambahkan, untuk pasar luar negeri, potensi pertumbuhan yang signifikan datang dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Filipina. 

Menurut data APBI, untuk tahun ini ekspor batu bara nasional diperkirakan mencapai 500 juta ton. Hingga Oktober 2025, ekspor batu bara sebesar 418 juta ton, atau 83,6 persen dari target.

Dari sisi produksi, APBI memperkirakan produksi batu bara nasional tahun ini di kisaran 740 juta ton atau turun turun 8 persen dibanding 2024 yang mencapai 800 juta ton.

Priadi menambahkan, untuk tetap tumbuh, sektor batu bara memerlukan stabilitas kebijakan di tengah dinamika pasar global yang sangat fluktuatif guna menjaga ketahanan industri.

Selain itu, APBI juga menekankan, pelemahan harga batu bara internasional, disertai kenaikan biaya produksi dan logistik, menuntut kebijakan yang lebih adaptif, terukur, dan mampu menjaga kesinambungan investasi jangka panjang.

“Sinkronisasi kebijakan strategis pemerintah ini akan menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan operasi dan daya saing pelaku usaha,” katanya.

Priyadi juga menyampaikan, APBI–ICMA memahami dan mendukung tujuan pemerintah untuk mengurangi impor solar. Namun, mekanisme implementasi B40 perlu dikaji lebih dalam untuk sektor tambang, karena karakter operasi setiap komoditas dan wilayah berbeda, mulai dari variasi stripping ratio, jarak dan rute hauling, hingga kondisi infrastruktur yang memengaruhi struktur biaya produksi. 

“Hilangnya subsidi untuk non-PSO semakin menekan arus kas, sehingga tambahan beban biaya operasional sangat memengaruhi ketahanan usaha di tengah fluktuasi harga komoditas,” katanya.

Sementara itu, Sekjen APBI Haryanto Damanik menambahkan, industri tambang mendukung transisi energi, namun penahapan yang realistis mutlak diperlukan.

Sebelum melangkah ke B50, kata dia, pemerintah perlu memastikan implementasi B40 berjalan stabil dengan skema kompensasi yang proporsional, agar industri mampu beradaptasi tanpa kehilangan daya saing. Hal ini diperlukan agar untuk mendukung keberlangsungan produksi serta penerimaan negara yang tetap optimal.

(Dhera Arizona)

SHARE