ECONOMICS

Bagaimana Nasib Bisnis Kafe dan Restoran Dine-in? Ini Kata Pengamat Pemasaran

Dinar Fitra Maghiszha 08/08/2021 20:49 WIB

Pengamat bisnis dan pemasaran Yuswohady menilai akan ada perubahan baik konsumen dan para pelaku usaha bisnis kafe dan resto pasca-pandemi.

Bagaimana Nasib Bisnis Kafe dan Restoran Dine-in? Ini Kata Pengamat Pemasaran (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Pengamat bisnis dan pemasaran Yuswohady menilai akan ada perubahan baik konsumen dan para pelaku usaha bisnis kafe dan resto pasca-pandemi

Menurutnya, konsep penyediaan fasilitas makan di tempat atau 'dine-in' akan sejalan berdampingan dengan 'takeaway only' melalui sistem pesan-antar / delivery yang juga mengikuti kebiasaan konsumen. 

"Jadi dengan semakin lama pandemi dan buka tutup terus, maka konsumen juga sudah mulai pindah ke digital channel, so kalo dua-duanya kejadian, maka endgamenya baik dari customer atau resto/produsen itu akan switching secara elastis antar-dua itu, dine ini dan delivery itu, kalo sebelumnya kan digital itu kan kayak darurat, tapi nanti  endgamenya itu akan berdampingan dan switchingnya akan cepat," terang Yuswohady saat dihubungi MNC Portal, Minggu (8/8/2021). 

Yuswo melihat konsumen dapat secara elastis memilih opsi antara dine-in ataupun takeaway-delivery. Namun, transformasi itu tidak serta-merta berlangsung dengan cepat. 

"Karena customer itu begitu dine-in dilarang, maka bisa elastis ke delivery atau beli secara takeaway dan seterusnya. Tapi konsumen itu ga bisa cepat gitu, dia mengurangi spending ketika dine in ditutup," jelasnya. 

Melihat kebiasaan konsumen selama pandemi, menurut Yuswo konsep 'takeaway-delivery' dapat membatasi pengeluaran konsumen. Artinya, customer akan memilih makanan sesuai yang dibutuhkan dalam pesanan yang akan dibawa pulang. 

"Kalau takeaway itu volume (pemesanan) nya menjadi lebih kecil karena pola pembeliannya rasional. Orang kalo takeaway-delivery kebiasaanya itu rasional, ya bahasa gampangnya ngirit, beli ini ya ini, ga akan nambah dan sudah pasti," ungkap Yuswo. 

Sedangkan konsep 'dine-in' justru memperbesar peluang bertambahnya pengeluaran konsumen, yang berarti saat makan di tempat, pengunjung dimungkinkan dapat menambah pesanannya. 

"Kalau dine-in, misal setengah jam, sejam, 2 jam, sambil ngobrol itu ngedrain demand, jadi pengennya makan ini, tiba-tiba nambah lagi, minum lagi, sehingga besar marketnya," jelasnya. 

Yuswo memahami bahwa pelarangan 'dine-in' memangkas omset para pelaku bisnis kafe-resto yang tidak hanya menyediakan makanan tetapi juga fasilitas publik untuk berbincang. 

"Kalau dine-in itu dilarang, memang kemudian pemangkasan omsetnya itu gede, ditambah pandemi, orang shifting ke delivery, atau takeaway. Ini yang  menyebabkan kenapa ketika begitu dine in dilarang jadi pangkas omsetnya begitu sangat drastis," tegasnya. 

Bagaimana nasib bisnis kafe-resto pasca-pandemi? 

Yuswo meyakini bahwa konsep dine-in dan takeaway-delivery akan berjalan berdampingan. Baik konsumen maupun produsen, jelasnya, telah memahami transformasi digital. 

"Banyak pemain bisnis yang juga masuk ke situ (digital), sehingga memudahkan pemilik resto untuk mengambil platform itu, tetapi juga sebenarnya resto bisa juga menggunakan kanal sendiri. Dalam jangka panjang resto akan beradaptasi ke situ," tukasnya.

(SANDY)

SHARE