Bank Dunia Sarankan RI Hapus Subsidi Energi dan Pupuk, Pemerintah Mampu?
Bank Dunia melaporkan sejumlah progress pemerintah Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan beberapa tahun terakhir.
IDXChannel - Bank Dunia melaporkan sejumlah progress pemerintah Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan beberapa tahun terakhir dalam kajian terbarunya bertajuk Pathways Towards Economic Security in Indonesia, pada Selasa (9/5/2023)
Salah satu yang menarik dari laporan Bank Dunia adalah usulan menghapus subsidi energi dan pupuk dalam mendorong pengurangan kemiskinan di Indonesia.
Dilaporkan Bank Dunia, pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan ekstrim di Indonesia.
Kemiskinan ekstrem yang didefinisikan dengan pendapatan kurang dari USD1,90 per hari, turun dari sebelumnya yang mencapai 19% pada 2002 menjadi hanya 1,5% pada 2022.
Bank Dunia menyebut ini memenuhi tujuan pemerintah untuk memberantas kemiskinan ekstrim lebih cepat dari target pada 2024. (Lihat grafik di bawah ini.)
Bank Dunia menyatakan, menghapus subsidi energi dan pertanian dapat meningkatkan sumber daya fiskal lebih lanjut.
“Subsidi energi mahal dan tidak efektif dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Sementara reformasi yang ambisius pada 2015 mulai mengurangi subsidi energi, bantuan sosial tidak ditingkatkan dengan cukup cepat dengan kompensasi yang memadai,” kata laporan tersebut.
Bank Dunia menambahkan, subsidi berkontribusi pada ekonomi politik yang menelan biaya 0,7% dari PDB pada 2016 dan meningkat menjadi 1,7% dari PDB pada 2019.
Namun, Bank Dunia menemukan, pemerintah hanya mengurangi kemiskinan sebesar 2,4 poin persentase. Angka ini menelan biaya program bantuan sosial hanya 0,4% dari PDB.
“Bantuan sosial tidak hanya lebih efisien untuk mengurangi kemiskinan tetapi juga sangat progresif dalam menurunkan ketimpangan. Sebagian besar subsidi BBM, di sisi lain, tidak tepat sasaran dan bahkan dapat bersifat regresif, namun berkontribusi terhadap emisi GRK yang lebih tinggi,”imbuh laporan tersebut.
Di samping itu, pemerintah juga membelanjakan 2 hingga 3 persen dari PDB untuk pertanian, yang sebagian besar digunakan untuk subsidi produk pertanian. Namun, subsidi ini dianggap tidak tepat sasaran bagi petani miskin, sebagian besar tidak efektif, mendistorsi pasar pertanian, dan melemahkan produktivitas pertanian.
“Meninjau kembali pengeluaran pertanian untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas dapat menghasilkan penghematan fiskal yang besar,” kata laporan tersebut.
Namun, bisakah Indonesia lepas dari subsidi energi dan pertanian?
Mungkinkah Subsidi Dihapuskan?
Menurut data International Energy Agency (IEA) per 2020, Indonesia masuk ke dalam jajaran negara dengan nilai subsidi BBM kendaraan Indonesia sebesar. Angkanya mencapai USD2,49 miliar dan menjadi yang terbesar ke-6 di dunia.
Sementara itu, menurut Kementerian Keuangan, realisasi anggaran subsidi dan kompensasi energi sepanjang tahun 2022 mencapai Rp 551,2 triliun.
Angka tersebut bahkan melesat lebih dari tiga kali lipat dari asumsi subsidi dan kompensasi 2022 sebesar Rp192,7 triliun.
Realisasi ini juga melonjak dari yang sudah dianggarkan berdasarkan Perpres No.98/2022 sebesar Rp 502,3 triliun.
Realisasi tersebut bahkan meroket tiga kali lipat dibandingkan anggaran APBN sebelum direvisi Perpres 98 Tahun 2022 yang hanya sebesar Rp 152,5 triliun.
Sementara itu, pemerintah menganggarkan dana subsidi pupuk sebesar Rp 25,3 triliun dalam APBN 2022. Nilai tersebut porsinya mencapai 34,7% dari total subsidi non-energi sebesar Rp 72,9 triliun.
Ini menunjukkan bahwa program subsidi masih menjadi tumpuan petani dan masyarakat dalam menghadapi himpitan kemiskinan dan kebutuhan hidup.
Namun, persoalan klasik subsidi adalah penyaluran yang tepat atau meleset dari sasaran. Ini menjadi PR besar pemerintah dalam mengelola anggaran subsidi.
Pengamat Ekonomi Politik Universitas Indonesia Faisal Basri di awal pemerintahan Jokowi sempat berpendapat pemerintah perlu menghapus subsidi energi secara bertahap.
Menurutnya, subsidi BBM seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Ia mengibaratkan melepaskan diri dari ketergantungan subsidi adalah hal sulit, meski bukan hal yang mustahil.
“Cara paling ampuh menurunkan angka kemiskinan bukanlah dengan mempertahankan harga BBM bersubsidi yang nyata-nyata menambah kenikmatan kelas menengah ke atas, melainkan dengan menjaga kestabilan harga beras di tingkat eceran seraya mendorong pendapatan petani dengan mereformasi mata rantai setelah panen,” kata Faisal dalam website pribadinya, dikutip Selasa (9/5/2023).
Pada 2021 lalu, Jokowi sempat menyatakan dan menilai subsidi pupuk gagal meningkatkan produksi pertanian.
"Kita beri pupuk, kembaliannya ke kita apa? Apakah produksi melompat naik?" kata Jokowi dalam Rakernas Pembangunan Pertanian Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta pada 11 Januari 2021 lalu.
Di tengah harga BBM yang telah naik dan kondisi pertanian yang belum sepenuhnya bisa diandalkan, ironi subsidi ini menjadi realitas yang miris.
Tak bisa sepenuhnya dihapus, program subsidi harus didorong untuk lebih tepat sasaran dalam membantu pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan ke depan. (ADF)