Bukan untuk Mobil, Pengamat: BBM Subsidi Seharusnya untuk Roda Dua
Rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite menuai polemik. Apalagi, BPH Migas tengah mempersiapkan skema pembatasan melalui aplikasi.
IDXChannel - Rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite menuai polemik. Apalagi, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) bahkan tengah mempersiapkan skema pembatasan melalui aplikasi MyPertamina.
Pengamat independent industri Minyak dan Gas (Migas), Komaidi Notonegoro, ragu cara ini akan sulit dilaksanakan di lapangan. Sebab, pegawai Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) akan berhadapan dengan pengendara mobil yang merasa punya untuk membeli BBM Pertalite maupun Solar bersubsidi.
"Yang ada terjadi banyak pertikaian dengan pegawai SPBU, belum lagi tidak semua konsumen punya akses jaringan internet seperti di pelosok," beber Komaidi saat ditemui usai menghadiri dialog interaktif yang digelar PMII di Islamic Center, Sabtu (25/6/2022) sore.
Lalu bagaimana agar BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar subsidi bisa dinikmati masyarakat yang kurang mampu. Menurut Komaidi, solusinya sederhana saja yakni dengan membuat pengumuman yang bisa beli Pertalite hanya roda dua saja, sedangkan mobil hanya menggunakan BBM non subsidi.
"Logikanya begini. Orang yang beli mobil kan tidak mungkin tidak bisa beli BBM dengan oktan tinggi. Jika memang mereka memang hanya mampu beli Pertalite yang harganya Rp7.000-an, pasti kemampuannya hanya membeli kendaraan roda dua," tegas Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.
Komaidi dihadapan mahasiswa PMII juga menyebutkan jika subsidi BBM yang ada saat ini sudah sangat membebani negara. Dan jika dibiarkan terus dinikmati oleh orang yang mampu beli mobil tetapi tidak bisa beli BBM non subsidi, maka subsidi untuk pendidikan dan pupuk pun akan tergenjet oleh kebutuhan subsidi BBM.
"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM non subsidi," kritik alumnus Fakultas Ekonomi Unair itu.
Hal yang sama juga diamini oleh Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Abdul Ghoni Mukhlas, Nia'm yang miris melihat nasib para nelayan di Kenjeran Surabaya yang tak bisa melaut karena tak punya solar.
"Solar ada, dijual di Pertamini yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan SPBU legal. Solar yang harganya Rp5.150 per liter, dijual seharga Rp10.000-an," papar Ghoni yang juga menjadi pembicara dalam dialog interaktif itu.
DPRD Surabaya sepakat akan mengawal subsidi solar ini benar-benar bisa dinikmati oleh nelayan. Sebab jika Solar bersubsidi tak bisa diakses nelayan maka ekonomi nelayan di Kenjeran akan semakin terpuruk.
"Nelayan di Kenjeran itu sudah banyak masalah mulai dari kelangkaan solar bersubsidi hingga kasus stanting atau gizi buruk yang menimpa anak mereka, akibat keterbatasan ekonomi," tandas legislator dari PDIP itu. (TYO)