Bunga Bank Kian Mencekik, DPR Sebut Pinjol Ilegal Pelarian Masyarakat Miskin
Bunga bank legal begitu mencekik sehingga pinjaman online (pinjol) menjadi solusi cepat masyarakat.
IDXChannel - Potret masyarakat bawah di Indonesia menunjukkan, adanya kondisi keterdesakan ekonomi. Namun sayang, bunga bank legal begitu mencekik sehingga pinjaman online (pinjol) menjadi solusi cepat masyarakat.
"Setelah kita tahu potret diri kita seperti itu, maka pertanyaannya adalah kenapa dalam kondisi dimana bunga begitu mencekik mereka memutuskan menjadi peminjam pinjol, kenapa? ini di kita, dari sisi dimensi yang membutuhkan dana," kata Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta dikutip Rabu (20/10/2021).
Berdasarkan 4 penelitian ilmuwan, Komisi XI DPR pernah mempertanyakan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kenapa tidak mendirikan kantor-kantor atau unit-unit pelayanan bank termasuk BRI dan sebagainya di dekat pasar di mana banyak beroperasi para rentenir.
Sehingga para pedagang bisa mendapatkan pilohan pinjaman dengan bunga yang jaub lebih mudah dan murah.
"Sehingga para pedagang kecil itu, you bisa pinjam bermacam-macam bank dengan bunga sekian, tinggal datang ke unit bank yang dengan bunga jauh berbeda, lebih rendah dan lebih murah, sehingga pelayanan dari bank-bank ini yang keuntungannya luar biasa, kita tahu bahwa BUMN itu setoran Dividen dikuasai oleh Bank BUMN yang hebat hebat yang direksinya main golf," ungkapnya.
Karena, orang miskin itu tidak punya alternatif, semakin sedikit pilihan yang dimiliki maka akan semakin miskin orang tersebut. Itulah kenapa seseorang bisa kaya, karena orang itu mempunyai banyak pilihan, termasuk dalam hal pilihan pinjaman uang.
"Oleh karena itu saya berharap kan di pasar-pasar itu ada unit-unit pelayanan BRI dan kantor OJK jangan kantor Full AC tetapi kantor kantor yang mengawasi perbankan ini dengan baik," pinta Hendrawan.
Kemudian dari sisi supply, sambung dia, jika seseorang menjadi pengusaha dan suka dengan ilegalitas, maka ada masalah dengan legalitas, bahwa biaya untuk menjadi legal harus ditekan dengan sedemikian rupa karena adanya beragam biaya yang harus dikeluarkan. Termasuk biaya perizinan, biaya yang lain dan macam-macam.
"Menurut Gus Dur birokrasi kita adalah birokrasi upeti," imbuhnya. Oleh karena itu, menurut Hendrawan, acuannya adalah Undang-Undang 21/2011 tentang OJK. Kalau UU ini dirasa tidak memberikan kemampuan OJK untuk melakukan pengawasan atau regulasi pengawasan, maka sederhananya UU itu bisa direvisi. Tapi masalahnya, bukan pada aturan.
"Jadi masalahnya adalah masyarakat kita sudah sangat miskin dan tidak memiliki alternatif, bagaimana upaya kita menolong mereka, kita beri tambahan alternatif," pungkasnya.
(SANDY)