ECONOMICS

Delapan Poin Buruh Tolak Perpu Cipta Kerja: Upah Minimum hingga Outsourcing

Carlos Roy Fajarta Barus 02/01/2023 06:41 WIB

Delapan poin dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditolak buruh.

Delapan Poin Buruh Tolak Perpu Cipta Kerja: Upah Minimum hingga Outsourcing. (Foto: MNC Media).

IDXChannel - Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menolak isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Ada delapan poin yang menjadi sorotan buruh dalam peraturan pengganti ini.

Presiden Partai Buruh dan KSPI, Said Iqbal menyebut, pertama terkait upah minimum.

"UMK bisa diputuskan gubernur bisa juga tidak. Formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Buruh menolak menggunakan indeks tertentu," ujar Said, ditulis Senin (2/1/2023).

Dalam penetapan upah minimum ini, menurutnya, pemerintah bisa mengubah formula kenaikan upah minimum. Selain itu, para buruh juga menolak apabila upah minimum sektoral dihilangkan. 

Catatan kedua yang ditolak buruh adalah outsourcing atau alih daya. Di dalam UU Cipta Kerja, Pasal 64, 65, dan 66 dihapus. Prinsipnya, alih daya diperbolehkan oleh Perpu, sehingga tidak ada bedanya, meski ada ruang dialog. 

Dalam Perpu disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah.

“Akan diatur dalam perturan pemerintah, mana yang boleh mana yang tidak. Makin tidak jelas. Karena semakin menegaskan semua pekerjaan bisa di outsourcing. Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?” tegas Said.

Untuk itu, pihaknya meminta sekurang-kurangnya outsourcing harus kembali ke UU No 13/2003, dengan ada batasan yang jelas.

Catatan ketiga adalah terkait pesangon. Dalam Perppu tidak ada perubahan. Buruh meminta kembali pada UU No 13 Tahun 2003. Sementara jika upah di tingkat manager atau direksi dinilai terlalu tinggi, bisa dibuat Batasan 4 PTK. 

Kemudian dalam catatan keempat yang disorot adalah tentang PKWT yang di UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode kontraknya. Di Perppu tidak ada perubahan, sehingga buruh menolak ini, karena dengan adanya pasal ini kontrak kerja bisa dibuat berulangkali.

Pada catatan kelima, Said melihat terkait dengan PHK tidak ada perubahan. Masih sama dengan UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak sistem mudah rekrut mudah PHK. 

Keenam, perihal tenaga kerja asing. Sama persis dengan UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak dan meminta harus ada izin untuk TKA. Kalau izin belum keluar, tidak boleh bekerja. 

Sementara poin ketujuh, terkait sanksi pidana, pengaturan waktu kerja, dan pengaturan cuti. “Pengaturan cuti panjang yang hilang, kami tolak. Begitu juga pengaturan cuti, harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003," kata Said.

Sedangkan poin kedelapan, melihat UU Cipta Kerja mengenai pasal Bank Tanah, di Perppu tidak ada perubahan. Artinya tetap berlaku UU Cipta Kerja. 

“Kami tolak, karena merugikan petani dan pemilik tanah orang kecil. Bank Tanah diorientasikan untuk kepentingan korporasi besar, perkebunan sawit, dan sebagainya. Partai buruh dan SPI meminta bank tanah dikorelasikan dengan reforma agraria. Bank tanah yang dimaksud adalah untuk didistribusikan kepada petani,” tutup Said Iqbal. 

(FAY)

SHARE