ECONOMICS

Dilema Batu Bara, Penyumbang Emisi Terbesar tapi Masih Jadi Andalan

Maulina Ulfa - Riset 08/09/2022 17:38 WIB

Harga batu bara baru-baru ini kembali mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dianggap sebagai ‘energi kotor’, batu bara ternyata masih dibutuhkan dunia.

Dilema Batu Bara, Penyumbang Emisi Terbesar tapi Masih Jadi Andalan. (Foto: MNC Media)

IDXChannelBatu bara menjadi salah satu komoditas paling ‘hot’ sepanjang tahun ini. Dianggap sebagai ‘energi kotor’, batu bara ternyata masih dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi dunia.

Teranyar, harga batu bara dunia pada minggu ini sempat kembali naik ke level tertinggi sepanjang sejarah. Berdasarkan data ICE Newcastle Coal, harga batu bara mencetak rekor tertinggi dalam sejarah pada Senin (5/9/2022) di USD463,75 per ton ataupun naik 5,18 persen.

Adapun untuk kontrak Oktober 2022, perdagangan ditutup dengan harga USD434,7 per ton atau turun sebesar 3,67 persen pada 7 September 2022. (Lihat tabel di bawah ini.)

Salah satu faktor melambungnya harga si batu hitam ditengarai akibat dinamika geopolitik di benua Eropa.

Ini terkait konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan gangguan pasokan aliran gas dari Rusia ke Eropa. Hal ini mendorong permintaan batu bara meningkat sebagai alternatif pengganti gas. 

Gas merupakan salah satu energi penting bagi Eropa, terutama sebagai bahan bakar pemanas ketika benua Biru tersebut memasuki musim dingin.

Sebagai salah satu produsen gas terbesar, Rusia menjadi salah satu pemasok utama gas ke Eropa.

Pesona Energi Fosil

Di tengah dunia yang tengah mengurangi penggunaan energi fosil, salah satunya batubara, menuju energi yang lebih bersih, peningkatan permintaan akan emas hitam ini menuai paradoks.

Pasalnya, banyak negara-negara Eropa kembali beralih menggunakan batu bara setelah mereka terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan energi menjelang musim dingin.

Kenaikan akan permintaan batu bara ini menyebabkan upaya mengurangi emisi dari meminimalisir penggunaan energi fosil jadi terhambat.

Mengutip France24, Eropa tengah berjuang menghadapi ancaman krisis energi. Dampak terburuknya dapat menyebabkan pemadaman listrik secara bergilir, menutup pabrik, hingga ancaman resesi yang semakin dalam.

Krisis semakin dalam ketika eksportir gas milik Rusia, Gazprom, menutup pipa utama yang mengalirkan gas ke Jerman. Hal ini juga dipengaruhi sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa dalam melarang banyak transaksi bisnis dengan Rusia.

“Para pejabat Eropa menyebut ini sebagai bentuk pemerasan energi, yang bertujuan untuk menekan dan memecah belah Uni Eropa karena mendukung Ukraina melawan invasi Rusia,” tulis France24, (7/9).

Penyumbang Emisi Terbesar

Mengutip European Commission, batu bara selama ini menyumbang sekitar 20 persen dari total produksi listrik di Uni Eropa. Batu bara juga menyumbang lapangan kerja bagi sekitar 230.000 orang di 31 wilayah dan 11 negara Uni Eropa.

Sementara Uni Eropa memiliki komitmen untuk mengurangi emisi CO2 setidaknya 55 persen pada 2030 dan untuk menjadi blok netral iklim pertama di dunia pada tahun 2050. Mengingat batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sejak 2012, total pembangkit listrik tenaga batubara telah turun hampir sepertiga di benua Biru.

Menurunnya penggunaan batubara menyebabkan tambang-tambang ditutup dan pembangkit listrik dinonaktifkan di sejumlah wilayah di seluruh Eropa. Meski demikian, Eropa bukan pengguna utama batubara, melainkan China.

Negeri Tirai Bambu ini juga menjadi produsen terbesar batu bara dunia. Indonesia juga menjadi salah satu produsen batu bara terbesar dunia.

Sementara Indonesia akan segera menerapkan kebijakan penghentian penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara untuk mengejar target zero emisi pada 2060.

Penghentian PLTU batu bara menjadi salah satu upaya pemerintah dalam melakukan transisi energi. (Lihat tabel di bawah ini.)

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro Masyita Masyita mengatakan, pemerintah tengah mematangkan aturan dalam peta jalan (roadmap) transisi energi.

Roadmap ini melibatkan tiga kementerian yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Kalau pertanyaannya berapa total yang akan ditutup [PLTU], kita dari masing-masing kementrian sedang menyiapkan roadmap untuk transisi energi. Jadi dalam roadmap ini berapa giga yang akan ditutup sampai 2040 dan seterusnya," ujarnya di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/7/2022) mengutip Okezone.

Musuh Perubahan Iklim, Bank Bakal Stop Pendanaan

Bergejolaknya pasar batubara Eropa inilah yang mempengaruhi sentimen di belahan bumi lainnya, termasuk di Indonesia.

Meski permintaan sedang tinggi, beberapa bank multinasional memutuskan untuk menghentikan pembiayaan di sektor batu bara.

Lembaga finansial asal Inggris, Bank Standard Chartered (StandChart), telah mengakhiri hubungannya dengan salah satu perusahaan batubara terbesar di Indonesia, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). 

Kebijakan ini diberlakukan setelah perusahaan menerapkan visi berkelanjutan untuk mendukung program pengurangan emisi dan mencegah perubahan iklim.

Adapun Adaro merupakan salah satu produsen batu bara terbesar di Indonesia. (Lihat tabel di bawah ini.)

Setelah StandChart, kini DBS Bank akan mengurangi eksposur modal bagi emiten emas hitam milik Garibaldi 'Boy' Thohir tersebut.

Tak main-main, DBS menegaskan akan memangkas pendanaan cukup signifikan pada akhir 2022.

"Kami tidak berniat memperbarui pendanaan apabila bisnis tersebut masih didominasi batu bara," ujar juru bicara DBS Bank, dilansir dari Straits Times, Kamis (8/9/2022).

Dengan moncernya harga batu bara di pasar internasional, beberapa perusahaan juga berhasil mendulang cuan.

Sebut saja, laba bersih ADRO melesat 613,48% secara tahunan (yoy) menjadi USD1,21 miliar atau setara dengan Rp18,05 triliun (asumsi kurs 14.890/USD) pada semester I 2022.

Menurut laporan keuangan perusahaan di website Bursa Efek Indonesia (BEI), laba bersih tersebut lebih tinggi dibandingkan laba periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar USD169,96 juta.

Kenaikan laba yang cemerlang tersebut tidak lepas dari pertumbuhan pendapatan bersih sebesar 126,61% yoy menjadi USD3,54 miliar (Rp52,73 triliun) selama enam bulan pertama 2022. Ini merupakan, mengutip manajemen, pendapatan tertinggi dalam sejarah ADRO.

Dalam rilis pers perusahaan, Selasa (30/8), manajemen menjelaskan, kenaikan laba ADRO pada semester I 2022 “berkat harga [batu bara] yang sangat tinggi dalam sejarah akibat peristiwa-peristiwa geopolitis dan efisiensi operasional yang dilakukan secara berkesinambungan”. (ADF)

SHARE