Ekonom Ramal RI Bisa Kehilangan Rp27,7 Triliun Imbas Rokok Polos
Ekonom INDEF, Tauhid Ahmad, Tauhid Ahmad menilai aturan terkait kemasan rokok menjadi polos berpeluang menggerus penerimaan negara hingga Rp27,7 triliun.
IDXChannel - Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai aturan terkait kemasan rokok menjadi polos berpeluang menggerus penerimaan negara hingga Rp27,7 triliun.
Adapun, aturan terkait kemasan rokok polos tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
"Tentu saja ini akan menurunkan, bukan hanya plain packaging saja, itu akan menurunkan penerimaan negara, terutama dari cukai, sebesar Rp27,7 triliun. Tadi 3 PP tadi yang kami hitung Rp58 triliun, sekarang ada tambahan baru Rp27,7 triliun. Jadi, akan luar biasa dampaknya terhadap penerimaan negara," kata dia dalam acara diskusi "Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek" di Parle Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Menurut Tauhid, meski desain kemasan polos ini telah diterapkan di sejumlah negara namun ternyata masing-masing negara itu mengalami masalah yang berbeda-beda.
Misalnya di Skotlandia, desain kemasan rokok polos membuat konsumen menjadi bingung dalam memilih varian merek dari industri tembakau. Hal itu lantaran penampilan kemasan yang mengalami perubahan.
"Bahkan di New Zealand, dari penelitian 2023 oleh Edward, menyebabkan penurunan brand awareness dan influence nama brand. Nah, jadinya orang disana mengingat katakanlah nama-nama brand akan hilang. Dari 28 persen menjadi 13 persen. Jadi brand awareness nya turun," ujarnya.
Tauhid menambahkan, bahkan di Kolombia, masyarakat mengaku tidak masalah membayar lebih mahal sekitar USD5,63 untuk menghindari kebijakan plain packaging atau kemasan polos.
"Artinya memang kebijakan ini dari plain packaging ini memang secara perlahan di banyak studi, ini akan mematikan industri rokok. Yang kedua, yang terjadi juga akan rokok ilegal. Itu juga akan ada peluang lebih besar. Jadi, studi itu kemudian juga muncul begitu," tutur Tauhid.
(Febrina Ratna)