ECONOMICS

Ekonomi AS Tunjukkan Sinyal Resesi, Ekspor RI Terancam

Dovana Hasiana/MPI 28/04/2023 16:53 WIB

Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan hal ini harus menjadi warning bagi ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. 

Ekonomi AS Tunjukkan Sinyal Resesi, Ekspor RI Terancam. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) berada di level 1,1% yang menjadi sinyal resesi AS semakin menguat. Namun, adakah dampaknya pada Indonesia?

Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan hal ini harus menjadi warning bagi ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Dengan pertumbuhan ekonomi 1,1% sinyal Amerika Serikat (AS) mengalami resesi semakin terlihat. 

Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan hal ini harus menjadi warning bagi ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. 

"AS merupakan mitra dagang yang penting, dan hub manufaktur Indonesia selain ke China, Jepang, dan India. Kinerja ekspor yang berpengaruh dari ancaman resesi di AS terdiri dari ekspor pakaian jadi, alas kaki, produk olahan karet, CPO, furnitur, produk perikanan, barang dari kulit," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Jumat (28/4/2023).

Sepanjang 2017-2021 ekspor pakaian terkontraksi hingga minus 3% ke pasar AS, alas kaki minus 1%, dan barang dari kulit minus 3%. 

Bagaimanapun juga, sebut Bhima, AS adalah mitra ekspor tradisional dengan porsi sebesar 9,2% sepanjang Januari-Maret 2023. 

"Kondisi penurunan permintaan ekspor bisa sebabkan PHK massal meluas sepanjang 2023, tidak hanya di sektor manufaktur tapi juga basis komoditas perkebunan dan tambang," terangnya.

Selain ekspor, realisasi investasi dari AS bisa terganggu karena investor akan lebih inward looking. Kesepakatan dengan Tesla misalnya, soal pengembangan baterai dan kendaraan listrik mungkin terkendala. 

"Dari segi keuangan, ancaman resesi bisa mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah dan berisiko meningkatkan suku bunga di sisa tahun 2023. Soal dampak kenaikan suku bunga ini tidak bisa diremehkan," tegas Bhima. 

Masalah utang berisiko memicu krisis sistemik global pasca pandemi. Situasi risiko utang juga perlu dicermati untuk kondisi Indonesia di mana porsi utang saat ini 88% lebih bentuknya adalah SBN, yang artinya tergantung pada bunga pasar. 

Tren inflasi dan kenaikan suku bunga bisa membuat beban bunga utang naik signifikan sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit.

"Tahun 2023 saja tren bunga utang mencapai Rp441 triliun atau setara 21,8% target penerimaan perpajakan di tahun yang sama. Beban utang ini sudah kelewat berat," tandasnya. (NIA)

SHARE