ECONOMICS

Ekspor Nonmigas Dorong Surplus Neraca Perdagangan, Begini Respon Pengamat 

Ikhsan PSP 29/06/2022 15:05 WIB

Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan pada April 2022.

Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan pada April 2022.

IDXChannel - Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan pada April 2022. Nilainya mencapai USD7,56 miliar atau lebih tinggi dari bulan Maret yang mencatatkan surplus senilai USD4,53 miliar

Surplus terjadi karena ada ekspor yang besar pada komoditas non migas, yakni mencapai USD25,88 miliar, sementara ekspor migas USD1,43 miliar.

Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan ini merupakan sesuatu hal yang baik dan menjadi modal untuk menatap optimisme asumsi dasar ekonomi makro dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang telah disepakati oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

"Salah satu sumber dari pertumbuhan adalah tentu beranjak dari surplus komoditas seperti kita bicara sekarang tren komoditi super cycle yang juga membantu APBN, bagaimana APBN itu bisa menjadi bantalan bagi pertumbuhan ekonomi ke depan atas shock-shock yang akan tejadi," ungkapnya dalam program Market Review di IDX Channel, Rabu (29/6/2022).

Namun ia menyampaikan ada hal-hal yang perlu dicatat, berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan, menunjukkan bahwa kalau terlalu mengandalkan ekspor komoditas di kuartal ke dua tahun 2023 maka akan terpapar ke jalur imported inflation.

Ia mengungkapkan, komoditas-komoditas seperti besi, baja, kemudian barang barang-barang tambang dan seterusnya, itu adalah input produksi untuk industri.

Menurutnya sekarang kondisinya sudah over supply, kondisi over supply ini memang pada akhirnya membuat para eksportir ingin memanfaatkan harga internasional yang sekarang sedang membumbung tinggi.

"Pada sisi yang lain ketika nanti saatnya dibutuhkan, proyeksi saya kita melakukan beragam proyeksi dan salah satunya adalah di tahun 2023 itu yang sudah mulai tumbuh industrinya dan demand kepada produksi akan meningkat nah dalam kondisi itu kalau misalnya langka, maka ini justru akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Fithra menambahkan, ketika dibutuhkan namun barangnya tidak ada, maka biaya produksi akan meningkat dan pada akhirnya akan bermasalah serta akan memiliki tren kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Yang tadinya alih-alih mencapai di atas 5 persen mungkin akan terjerembab di bawah itu, oleh karenanya kita juga harus berhati-hati jangan sampai terlalu agresif," pungkasnya.

(NDA) 

SHARE