Hadapi Kasus Suap Izin Usaha Pertambangan, Sikap Ketum HIPMI Dinilai Sesuai Aturan
Faktanya yang bersangkutan tetap bersedia dan siap memberikan kesaksian secara virtual.
IDXChannel - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Mardani H Maming, tengah tersandung kasus suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kasus tersebut telah menetapkan Mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo, sebagai terdakwa.
Nama Mardani kemudian jadi ikut terseret lantaran sebelumnya diketahui pernah menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu dalam dua periode, yaitu 2010-2015 dan 2016-2018. Mardani pun telah membantah tudingan tersebut, yang disampaikannya saat hadir secara virtual sebagai saksi dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
Namun, majelis hakim menilai bahwa Mardani wajib hadir secara fisik dan bila perlu bakal dilakukan pemanggilan paksa. Sikap majelis hakim ini pun mendapatkan sorotan dari Pakar Hukum Universitas Indonesia, Erlanda Juliansyah Putra.
"(Pemanggilan paksa) Itu sangat berlebihan. Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik telah mengatur bahwa seseorang dapat dimintai keterangan kesaksiannya secara online," ujar Erlanda, kepada media, Minggu (24/4/2022).
Terlebih, menurut Erlanda, selama ini Mardani telah menunjukkan sikap kooperatif dan siap memberikan kesaksiannya kapan saja saat dibutuhkan. Dengan demikian, apa yang dilakukan Mardani dengan hadir secara virtual disebut Erlanda telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Jadi hakim tidak perlu lagi memanggil paksa (Mardani) untuk dimintai keterangan. Kecuali yang bersangkutan (Mardani) tidak kooperatif dan menghindari adanya pemberian kesaksian, maka boleh (dipanggil paksa). Tapi faktanya kan yang bersangkutan tetap bersedia dan siap memberikan kesaksian secara virtual. Itu alasan yang sah dan dengan sendirinya telah menghapus wewenang ketua sidang untuk memanggilnya secara paksa," tutur Erlanda.
Lebih lanjut, Erlanda menjelaskan, Pasal 162 KUHAP juga dapat menjadi acuan pemeriksaan terhadap saksi yang berhalangan sah tersebut disebabkan karena ada alasan tertentu seperti alasan kesehatan yang telah disampaikan yang bersangkutan sehingga pemeriksaan cukup mengacu kepada keterangan yang diberikan di Berita Acara Pemeriksaan.
“Meskipun otoritas pemanggilan itu ada pada hakim namun kesaksian yang bersangkutan melalui media virtual juga bisa dipergunakan tanpa perlu ada panggilan paksa,” tegas Erlanda. (TSA)