Heboh PHK Massal, Segini Kontribusi Industri Tekstil ke Perekonomian RI
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri masih diselimuti momok Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
IDXChannel - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri masih diselimuti momok Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Hal ini terjadi karena dinilai tidak berjalannya bisnis imbas gempuran produk impor dalam skala besar.
Pengusaha ramai-ramai mengeluhkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Mereka menganggap aturan tersebut sebagai biang keladi dari relaksasi barang impor produk TPT, khususnya berupa pakaian jadi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengungkapkan, badai PHK massal yang menimpa para pekerja di industri TPT tersebut menjadi pil pahit di tengah lesunya bisnis tekstil di pasar domestik.
Terlebih, kata Jemmy, kondisi ini juga diperparah dengan krisis ekonomi global sehingga mengakibatkan komoditas ekspor produk TPT lokal terhambat.
Dia menyayangkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang justru semakin menambah beban bagi pengusaha industri TPT lokal tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja industri TPT tak dapat dielakkan. Namun, PHK massal tersebut masih menyisakan permasalahan pesangon bagi belasan ribu pekerja yang dirumahkan tersebut.
"Pesangon karyawan TPT yang di-PHK ini masih ada yang belum jelas. Meski sebagian perusahaan masih tahap negoisasi, tetapi masih ada perusahaan yang belum jelas penyelesaiannya," jelas Ristadi dikutip dari Sindonews, Rabu (12/6/2024).
Ristadi mengatakan, situasi tersebut diperolehnya berdasarkan informasi dari pekerja-pekerja Industri TPT yang tergabung dalam KSPN. Menurutnya, ada salah satu perusahaan TPT, yang tidak bisa disebutkan namanya, karena manajemennya belum mengungkapkan negoisasi uang pesangon bagi karyawan yang di-PHK tersebut.
Padahal, berdasarkan data prompt manufacturing index BI (PMI-BI), pada periode triwulan I-2024, industri tekstil dan pakaian jadi meningkat dan berada pada fase ekspansi dengan indeks sebesar 57,40 persen.
Sementara menurut BPS, laju PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi menguat 2,64 persen di triwulan I-2024. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan kontraksi 1,98 persen secara tahunan pada 2023 lalu.
Namun, angka ini masih jauh dari laju PDB industri ini yang ekspansif 15,35 persen di era sebelum pandemi Covid-19, tepatnya di 2019. (Lihat grafik di bawah ini.)
Mirisnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama periode 2013-2022 volume tekstil dan barang tekstil impor yang masuk ke Indonesia rata-rata mencapai 2,16 juta ton per tahun, dengan rata-rata nilai impor USD8,8 miliar tiap tahunnya.
Angka tersebut mencakup seluruh impor tekstil dan barang tekstil golongan barang XI (kode HS 50-63), yang terdiri dari gabungan komoditas sutra, wol, kapas, serat tekstil, filamen, serat stapel, kain tenun, kain rajutan, karpet, pakaian rajutan/non-rajutan, aksesoris pakaian, dan berbagai produk tekstil jadi lainnya, termasuk pakaian bekas.
Volume impor tekstil juga terus menguat semenjak Covid-19 di era 2021 hingga pada 2022, nilai tekstil dan barang tekstil impor yang masuk ke Indonesia mencapai USD10,1 miliar, naik 7,4 persen dibanding 2021 secara tahunan (yoy) dan sekaligus menjadi rekor tertinggi baru.
(YNA)