ECONOMICS

Kasus Gagal Bayar TaniFund, Alarm buat Ekosistem Industri Fintech RI

Maulina Ulfa - Riset 31/01/2023 11:27 WIB

Meskipun visioner, risiko gagal bayar menjadi momok terbesar industri fintech Tanah Air.

Kasus Gagal Bayar TaniFund, Alarm buat Ekosistem Industri Fintech RI. (Foto: TaniFund)

IDXChannel - Kasus dugaan gagal bayar PT Tani Fund Madani Indonesia atau TaniFund kepada peminjamnya kembali berlanjut.

Platform peer-to-peer (P2P) lending ini dilaporkan oleh para investor atau lender ke Bareskrim Polri.

Pada akhir 2022 lalu, TaniFund sedang menghadapi permasalahan gagal bayar kepada investornya yang berjumlah sekitar 128 investor dengan total nilai investasi sebesar kurang lebih Rp14 miliar.

Melalui kuasa hukum pelapor, TaniFund disebut membukukan tingkat kredit macet yang tinggi. Dalam hal ini, TaniFund melaporkan TBK90, yaitu tingkat keberhasilan bayar peminjam dalam jangka waktu 90 hari, hanya 36,07%.

Menanggapi hal ini, manajemen TaniFund sempat mengatakan setiap pendanaan oleh pemberi pinjaman tidak terlepas dari risiko. Mereka juga menyebut, pendanaan di sektor pertanian secara umum memang sulit dan memiliki tingkat risiko yang tinggi.

"Hal ini telah kami informasikan sejak awal sebelum masyarakat umum dapat terlibat dalam pendanaan bahwa lender tetap harus menyadari adanya risiko pendanaan yang akan mereka tanggung, sebagai contoh risiko telat bayar ataupun gagal bayar," tulis manajemen dalam keterangan tertulis resminya (14/12/2022).

Waspada Bubble Fintech

Industri fintech Tanah Air mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Mengutip laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menurut Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lending atau peer-to-peer lending  (P2P lending) adalah layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi. 

Dengan kata lain, fintech lending ini adalah layanan pinjaman online alias pinjol.

Sampai dengan 19 Februari 2020, total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 161 perusahaan. Namun, banyak kasus pinjol illegal yang akhirnya membelit bayak debitur.

Tak hanya itu, persoalan fintech RI yang perlu diperhatikan adalah soal risiko gagal bayar. Isu gagal bayar TaniFund ini sebenarnya sudah santer terdengar sejak menjelang akhir 2022 lalu.

Sempat bergulir ke KPPU, perusahaan induk TaniFund, yaitu TaniHub menerima gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menurut Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, PT Alpha Swara Konsultan dan Ludwina Emilia Maks selaku Pemohon mengajukan permohonan PKPU pada Jumat (9/12/2022) dengan perkara No. 363/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga.

Dari sumber yang sama, putusan gugatan sementara PKPU atas TaniHub seharusnya sudah terbit pada 24 Januari 2023.

Tak hanya TaniFund, hingga akhir tahun lalu, OJK tengah memberi perhatian khusus terhadap 18 startup fintech karena mencatatkan kredit bermasalah lebih dari 5%.

Melansir data OJK, jumlah kredit bermasalah atau TWP90 fintech ini mengalami peningkatan dari Januari hingga September 2022.

TWP90 merupakan tingkat wanprestasi pengembalian yang melebih waktu 90 hari sejak jatuh tempo. Berdasarkan data OJK, hingga Oktober 2022 tercatat TWP90 mencapai Rp1,4 miliar atau 2,9% dari total kredit.

Adapun menurut data OJK, 5 fintech dengan TWP90 tertinggi di antaranya Pintek sebesar 66,27%, TaniFund di urutan ke dua sebesar 63,93%, iGrow 22,14%, Samir 21,03% dan trustIQ 19,76%. (Lihat grafik di bawah ini.)


Dalam kasus TaniFund, sebagai bagian dari ekosistem impact investment, visi TaniFund untuk mengembangkan pertanian di RI sebenarnya cukup mulia.

Sebagai misi investasi sosial, TaniFund merupakan anak perusahaan dari TaniHub Group (Agritech and Egrocery Startup).

Mengutip laman resminya, TaniHub menghubungkan para petani dari berbagai daerah di Indonesia dengan para pelaku bisnis.

Petani di Indonesia masih banyak yang memiliki keterbatasan akses kredit untuk pendanaan berbagai proyek budidaya pertanian.

Melihat masalah tersebut, TaniHub meluncurkan TaniFund dengan tujuan untuk memberikan akses pendanaan bagi para petani di Indonesia. Dengan bantuan modal dari para pendana, petani di Indonesia dapat mengembangkan usaha budidaya yang dimilikinya.

Namun dalam praktiknya, risiko gagal bayar menjadi momok terbesar.

Dikutip melalui laman resminya, total pinjaman yang disalurkan startup peer to peer lending ini mencapai Rp520,94 miliar dengan total pinjaman lunas mencapai Rp393,3 miliar. Sementara rata-rata pengembalian hanya 14,44% dan total pinjaman outstanding mencapai Rp127,64 miliar.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga baik bagi para pelaku fintech maupun otoritas pengambil kebijakan untuk mengatur industri ini lebih baik lagi.

Berkaca pada sistem pinjaman konvensional yang diberikan bank dan institusi keuangan lainnya, pengawasan dan pengaturan yang ketat diperlukan, terlebih jika menyangkut aktivitas simpan pinjam keuangan. (ADF)

SHARE