ECONOMICS

Lifting Migas Tak Sesuai Target, Waspadai Ancaman Kemandirian Energi RI

Maulina Ulfa - Riset 18/10/2022 17:17 WIB

Rendahnya hasil lifting migas akan menyebabkan pemerintah semakin sulit mengintervensi harga BBM.

Lifting Migas Tak Sesuai Target, Waspadai Ancaman Kemandirian Energi RI

IDXChannel - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) baru saja mengumumkan kinerja hulu migas Indonesia kuartal 3 tahun ini pada Senin, (17/10/2022).

Sejumlah laporan disampaikan di antaranya realisasi lifting migas hingga sumbangan hulu migas terhadap penerimaan negara. Di tengah isu krisis energi yang melanda dunia, laporan SKK Migas menjadi indikator penting bagi ketahanan energi nasional.

Migas memang masih menjadi salah satu komoditas sumber daya alam (SDA) unggulan Indonesia selain batu bara.

Bahkan, menurut data Kementerian Keuangan, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari  SDA mencapai Rp149,49 triliun pada tahun lalu.

Nilai tersebut melesat hingga 143,59% dari yang ditargetkan APBN dan melonjak 153% dari realisasi tahun sebelumnya. (Lihat grafik di bawah ini.)

Kenaikan realisasi PNBP SDA dipicu oleh naiknya harga komoditas, terutama harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), mineral dan batu bara.

Pertumbuhan di sektor migas ini terutama ditopang oleh naiknya ICP dalam 12 bulan terakhir, walaupun tidak diiringi dengan kenaikan lifting minyak bumi.

Penerimaan SDA dari minyak bumi tumbuh 44,86% menjadi Rp65 triliun dan gas meningkat 30,59% menjadi Rp31,62 triliun. Sementara di dalam konferensi pers SKK Migas memaparkan sumbangan hulu migas ke penerimaan negara di kuartal III mencapai USD13,95 miliar, mencapai 140% dari target APBN 2022.

Adapun target APBN dari penerimaan negara dari hulu migas pada tahun ini sebanyak USD9,95 miliar. Namun, dalam APBN Perubahan 2022 ditingkatkan menjadi USD16,7 miliar.

"Penerimaan pemerintah USD13,95 miliar atau 140% target APBN yang asli atau 83% target APBN perubahan. Jadi mudah-mudahan target APBN perubahan yang USD16,7 miliar bisa kita capai di tahun 2022 ini," terang kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto dalam konferensi pers tersebut.

Waspada Dolar Naik hingga Melebarnya Defisit Neraca Migas

Selain kenaikan pendapatan negara, SKK Migas juga mencatatkan kinerja hulu migas di kuartal III 2022 yang masih lesu. Salah satu indikatornya adalah realisasi lifting dan produksi migas yang masih jauh dari target tahun ini.

Menurut Dwi Soetjipto, realisasi produksi minyak sampai September 2022 sebesar 613 ribu barel per hari (BOPD) dengan lifting 610 ribu BOPD. Realisasi ini masih 86,8 persen dari target sebesar 703 ribu BOPD.

Sementara itu, lifting atau salur gas mencapai 5.353 MMSCFD per kuartal III 2022 atau 92,3% dari target 5.800 MMSCFD.

Menurut SKK Migas, produksi minyak di tahun ini, mulai merosot di April karena adanya pergeseran pipeline EMCL Kedung Keris sehingga harus stop produksi yang mencapai 10 ribu BOPD.

"Juli mulai muncul kebocoran pipa di PHE OSES. Berlanjut sampai Agustus juga kebocoran pipa lalu September lalu paling besar adalah kebocoran host offloading dari pipa Gagak Rimang sehingga produksi disetop sebagian dan ini cukup besar. September kinerja lifting jadi sangat jelek," katanya.

Sementara itu, dia berkata produksi gas masih lebih stabil daripada minyak. Namun tetap ada masalah yaitu fasilitas BP dan PLN tidak melanjutkan penarikan gas dari Epic Sengkang sehingga produksi turun hampir 40 MMSCFD.

Sebelumnya, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno juga menjelaskan realisasi lifting migas masih rendah disebabkan adanya unplanned shutdown dan mundurnya penyelesaian proyek strategis nasional hulu migas yaitu Jambaran Tiung Biru dan Tangguh Train 3.

Rendahnya lifting migas ini disinyalir dapat menimbulkan beberapa efek. Kondisi ini disebut oleh analis migas dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, dapat membahayakan kemandirian energi dalam negeri, utamanya dalam mendukung pemenuhan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.

Menurut Komaidi, rendahnya hasil lifting migas akan menyebabkan pemerintah semakin sulit untuk dapat mengintervensi harga BBM. Dengan kondisi yang ada, kebutuhan minyak atau BBM dalam negeri sebagian besar akan dipenuhi dari impor.

“Untuk ketahanan pasokan energi saya kira masih bisa dijaga. Namun aspek kemandirian yang saya kira akan bermasalah. Kalo ketahanan energi asal punya uang dan ada (minyak) yang dibeli masih bisa diusahakan,” kata Komaidi saat dihubungi tim riset IDX Channel.

Adapun Komaidi lebih lanjut menerangkan hal yang perlu diwaspadai selanjutnya adalah neraca perdagangan migas yang semakin mengalami defisit.

“Neraca dagang migas berpotensi defisit dengan nominal yang semakin besar. Kombinasi volume impor dan pelemahan rupiah adalah penyebabnya,” imbuh Komaidi.

Di tengah dinamika kenaikan harga minyak dan menguatnya dolar terhadap rupiah, nasib neraca dagang migas RI ke depan kian mengkhawatirkan.

Diketahui impor migas RI sepanjang 2022 tercatat terus meroket. Impor tertinggi terjadi di bulan Juli dengan nilai mencapai USD4,45 miliar. Adapun di bulan berikutnya turun dengan nilai USD3,7 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

Kenaikan impor migas pada bulan Juli juga meninggalkan luka mendalam terhadap neraca perdagangan migas yang mencapai minus USD3,08 miliar. Angka ini menjadi defisit tertinggi sepanjang tahun 2022 hingga bulan Agustus. (Lihat grafik di bawah ini.)

Dengan nilai rupiah yang semakin terperosok atas dolar Amerika Serikat (AS), kenaikan impor migas tentu akan semakin membebani neraca perdagangan. Selama ini, pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dipenuhi melalui jalan impor.

Diketahui sebelumnya rupiah terpuruk hingga 0,39% melawan dolar AS ke Rp 15.845/USD pada perdagangan Senin (17/10). Rupiah terus menunjukkan tren negatif dalam 5 pekan berturut-turut. Kondisi ini menjadikan rupiah pada level terlemah sejak April 2020.

Di tambah lagi, dampak keputusan OPEC+ yang akan memangkas produksi migas global juga perlu menjadi perhatian para pemangku kebijakan di Tanah Air. Utamaya terhadap pemenuhan pasokan BBM dalam negeri

“Indonesia perlu hati-hati menyikapi kebijakan OPEC tersebut. Berpotensi ada dua dampak. Pertama volume minyak di pasar akan turun. Kedua, harga minyak berpotensi lebih tinggi,” pungkas Komaidi. (ADF)

SHARE