Masih Dibebani Utang Rp31 Triliun, Ini Penyebab KRAS Setop Proyek Blast Furnace
Akibat beban utang yang cukup besar, yakni sebesar Rp31 triliun, menjadi PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyetop Proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi.
IDXChannel - Akibat beban utang yang cukup besar, yakni sebesar Rp31 triliun, menjadi PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyetop Proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi. Sebab, KRAS membutuhkan dana tambahan sedikitnya sebesar USD100 juta atau setara Rp1,4 triliun untuk pengadaan basic oxygen furnace (BOF).
Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, menyebut investasi tersebut bertujuan mengembalikan operasional blast furnace yang dihentikan sejak 2019 lalu. Namun beban utang senilai Rp31 triliun yang saat ini dalam proses restrukturisasi, sehingga emiten harus mencari alternatif pendanaan lainnya.
Berdasarkan arahan Menteri BUMN Erick Thohir, kata Silmy, pihaknya harus mencari mitra atau investor baru yang tertarik dengan proyek tanur tinggi tersebut. Upaya inilah yang tengah digodok manajemen emiten pelat merah itu.
"Kita harus melakukan investasi tambahan untuk basic oxygen furnace sebesar USD100 juta. Berhubung kita lagi restrukturisasi dan kita harus mengoptimalisasi keuangan yang ada untuk melakukan transformasi, maka kita utamakan langkah-langkah yang bisa memberikan dampak cepat bagi Krakatau Steel," ujar Silmy saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, dikutip Selasa (15/2/2022).
BOF belum dimiliki KRAS saat ini. Bahkan, ketiadaan fasilitas ini disebut-sebut menjadi sebab KRAS mengalami kerugian saat mengoperasikan blast furnace.
"Manajemen saat itu memutuskan tidak mengoperasikan, atas seluruh kajian yang ada, sambil kami siapkan fasilitas BOF-nya," kata dia.
Tak hanya itu, kerugian terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kapasitas fasilitas hulu (ironmaking and steelmaking) dan kapasitas fasilitas hilir (rolling), membuat perusahaan harus mengimpor bahan baku. Lalu, perusahaan memproduksi baja setengah jadi dengan harga yang tinggi dan berfluktuasi.
"Setelah beroperasi, kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya atau dengan kata lain rugi. Dengan ini Kementerian BUMN berkonsultasi dengan BPK, dengan kajian lembaga independen, kita putuskan menghentikan operasinya," ungkap dia.
Persoalan lain, lanjut Silmy, terkait dengan kenaikan harga hingga keterbatasan jumlah energi seperti listrik dan natural gas. Perkara ini mendorong KRAS untuk mengambil langkah efisiensi berupa mencari energi alternatif lain.
Meski ketiadaan fasilitas BOF, Silmy menyebut, pada 2008 lalu Krakatau Steel sudah memiliki fasilitas hulu berupa direct reduction plant, slab steel plant, dan billet steel plant. Manajemen pun berhitung bahwa pengembangan kapasitas baja dimulai dari fasilitas hulu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas eksisting.
Pertimbanganya, jika perusahaan membangun blast furnace dengan teknologi basic oksigen furnace, maka KRAS harus mendemolisi fasilitas eksisting, sehingga diputuskan pembangunan blast furnace dengan integrasi atau modifikasi fasilitas yang ada.
Hanya saja, dalam proses produksinya, khususnya produksi hot metal dalam menghasilkan slab internal, didapati hasil produksi slab lebih mahal dibandingkan harga slab pasar. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan harga jual HRC.
Silmy mencatat, harga slab produksi mencapai USD742 per ton, harga slab market USD476 per ton, sementara harga HRC market senilai USD629 per ton.
Atas hasil kajian KPMG, maka dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja Krakatau Steel akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam 5 tahun ke depan. Bahkan, emiten diproyeksi mengalami kerugian dan memerlukan modal kerja hingga USD2,5 miliar. (TYO)