Pajak Pendapatan Penopang Utama APBN 2022, Bagaimana Tahun Ini?
Komponen pajak penghasilan menyumbang kas negara terbesar dengan nilai Rp680,9 triliun.
IDXChannel - Pemerintah mencatat, dari total pendapatan negara sepanjang 2022, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp2.034,5 triliun atau 114% dari target Perpres 98/2022 sebesar Rp1.784 triliun.
Angka ini tumbuh 31,4% dari realisasi 2021 sebesar Rp1.547,8 triliun. Realisasi penerimaan ini berasal dari penerimaan pajak dan kepabeanan dan cukai. Adapun realisasi pajak untuk pendapatan negara menyumbang Rp1.256 triliun.
Adapun pendapatan pajak menjadi kontributor terbesar penerimaan APBN tahun lalu.
Dari total pendapatan pajak, komponen pajak penghasilan (PPh) menyumbang kas negara terbesar dengan nilai Rp680,9 triliun. Kedua ditempati oleh PPN/PPnBM mencapai Rp554,4 triliun. Adapun pajak bumi dan bangunan menyumbang kas negara Rp18,4 triliun, dan pajak lainnya menyumbang Rp11,4 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara itu, menurut Kemenkeu, penerimaan kepabeanan dan cukai juga memperlihatkan kinerja yang luar biasa.
Setelah targetnya direvisi ke atas melalui Perpres 98/2022, kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai masih tetap melampaui target dengan mengumpulkan Rp317,8 triliun atau 106,3% target, tumbuh 18%.
Tak hanya dari pajak, komponen pendapatan negara lain berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga bertumbuh konsisten.
Realisasi PNBP tahun 2022 menunjukkan Rp588,3 triliun atau 122,2% dari target Perpres 98/2022, tumbuh 28,3% dari tahun lalu yang juga sudah melonjak naik di level Rp458,5 triliun.
“Jadi kita lihat, memang kinerja penerimaan negara pajak, bea dan cukai, dan PNBP sungguh luar biasa dua tahun berturut-turut. Pada saat ekonomi pulih, kita juga memulihkan seluruh penerimaan negara. Pada saat komoditas boom, kita juga melakukan pengumpulan penerimaan negara dari kenaikan komoditas. Ini kita gunakan untuk melindungi rakyat dan ekonomi,” ungkap Menkeu.
Penerimaan PNBP ini didukung oleh penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA), penerimaan dari kekayaan negara dipisahkan, dan dukungan dari Badan Layanan Umum (BLU).
Selanjutnya, penerimaan hibah diproyeksikan Rp579,9 miliar sesuai dengan hibah terencana pada Kementerian/Lembaga di antaranya untuk mendukung kegiatan pembangunan sistem pedesaan dan perkotaan, keanekaragaman hayati, serta penanganan stunting.
Penerimaan Pajak Tumbuh Pesat, Bagaimana Tahun Ini?
Kemenkeu juga mencatat, sebelum pandemi, penerimaan perpajakan periode 2017–2019 tumbuh rata-rata sebesar 7,3% per tahun. Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi domestik dan kinerja perdagangan internasional.
Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 yang menyebabkan kontraksi baik di sisi perekonomian global maupun domestik. Hal ini berpengaruh pada menurunnya penerimaan perpajakan, khususnya penerimaan yang berkaitan dengan dunia usaha dan aktivitas perdagangan internasional.
Untuk mengatasi kontraksi ekonomi ini, pemerintah mengklaim secara aktif memberikan insentif kepada dunia usaha dalam merespon dampak Covid-19.
Pada 2021, kerja keras pemerintah berdampak pada kinerja ekonomi yang berangsur pulih yang juga tecermin pada tren peningkatan perpajakan.
Tahun ini, Kemenkeu menetapkan target penerimaan pajak mencapai Rp2.021,2 triliun. Target ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah.
“Dengan kondisi pemulihan ekonomi tahun 2023 yang diperkirakan akan semakin menguat, Pemerintah optimis bahwa pendapatan negara khususnya penerimaan perpajakan akan terus meningkat,” tulis rilis Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pada pertengahan September tahun lalu.
Namun, tahun ini dunia diproyeksi akan menghadapi resesi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Merujuk yang terjadi pada 2020 saat pandemi Covid-19 memuncak, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif pajak untuk mendukung perekonomian nasional.
Saat ini, tingginya inflasi meningkatnya beban ekonomi masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa. Jika resesi terjadi, hal ini juga akan menuntut stimulus ekonomi guna menjaga daya beli, termasuk mungkin saja insentif pajak.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan. Menurut Asep M. Zatnika, researcher dari MUC Tax Research Institute pada akhir tahun lalu menyatakan evaluasi menyeluruh perlu dilakukan dan sektor ekonomi yang mulai pulih harus dikeluarkan dari daftar penerima insentif pajak.
“Bicara stimulus ekonomi, insentif pajak sejatinya tetap diperlukan. Namun, penyalurannya harus selektif dan lebih terukur. Jangan sampai temuan BPK—terkait pemberian insentif yang salah sasaran di masa pandemi—terulang kembali,” ujarnya mengutip website MUC Tax Research Institute. (ADF)