Pelaku Industri hingga Petani Tembakau Tolak Revisi PP Soal Rokok
Pelaku Industri hingga asosiasi petani tembakau menolak wacana revisi Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012.
IDXChannel - Pelaku Industri hingga asosiasi petani tembakau menolak wacana revisi Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Dorongan untuk kembali melakukan revisi atas peraturan ini kembali digaungkan setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 pada 23 Desember 2022 lalu.
Poin revisi yang diharapkan meliputi 7 hal utama. Diantaranya pembesaran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok, ditargetkan menjadi 90 persen luas kemasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di berbagai jenis media, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyebut revisi PP tersebut bukanlah cara yang tepat dan langkah solutif untuk tujuan yang ingin dicapai.
"Secara berkelanjutan, industri hasil tembakau ditempa oleh berbagai peraturan yang sangat menekan, dari mulai pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi, pembatasan promosi, penjualan, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Dimana pada tahun 2018 terdapat 9,65 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Sedangkan di tahun 2022, angka ini menurun menjadi 3,44 persen.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Mahmudi juga menjadi pihak yang menentang adanya revisi PP 109/2012. Agus berharap pemerintah dapat mendengarkan keresahan para petani, karena revisi ini akan memberi dampak besar pada penghidupan mereka.
“Jika revisi PP 109/2012 diterapkan, hal ini dipastikan akan mempengaruhi penyerapan tembakau lokal, sehingga petani tembakau akan semakin tidak sejahtera,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto menyampaikan, dalam menghadapi kondisi ekonomi dan politik dunia yang tidak menentu, industri hasil tembakau sebagai industri resmi juga sepatutnya diperlakukan secara adil dan diberi perlindungan yang sama dengan industri lainnya.
"Kami berharap sarasehan yang diadakan hari ini dapat menjadi sebuah forum untuk para pemangku kepentingan untuk mengkaji bersama tingkat urgensi dari revisi PP 109/2012 dengan mempertimbangkan dampak dan manfaatnya bagi seluruh lapisan masyarakat," ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun yang juga hadir dalam acara ini melihat bahwa ketidakselarasan antara data dan langkah pemerintah ini adalah akibat adanya tekanan internasional terkait Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang kemudian dimasukkan ke dalam agenda regulasi nasional.
Untuk itu, Misbakhun meminta pemerintah untuk bersikap bijak dan objektif dengan melindungi industri hasil tembakau, terlebih karena industri ini adalah salah satu kontributor penerimaan negara terbesar.
“Ketika mengambil keputusan terkait industri hasil tembakau, hendaknya tidak dilihat terbatas pada satu aspek kesehatan saja, namun juga aspek lainnya, mulai dari penyerapan hasil pertanian tembakau, kelangsungan lapangan kerja, potensi produk ilegal, hingga potensi penerimaan negara,” ujar Misbakhun.
(DES)