ECONOMICS

Pengusaha Keluhkan Praktik Impor Tak Tercatat yang Gerus Bisnis Tekstil

Muhammad Farhan 18/06/2024 21:39 WIB

produk yang paling banyak diimpor adalah sektor produk kain, serat dan yang terbesar adalah sektor pakaian jadi yang tidak tercatat.

Pengusaha Keluhkan Praktik Impor Tak Tercatat yang Gerus Bisnis Tekstil (foto: MNC Media)

IDXChannel - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengeluhkan gempuran produk tekstil impor dari China yang semakin menguasai pasar dalam negeri.

Kondisi tersebut masih diperparah lagi dengan kurang kuatnya regulasi pemerintah dalam melindungi pasar tekstil domestik, sehingga tak jarang realisasi impor tekstil di lapangan bahkan jauh lebih besar dari yang tercatat secara resmi.

"Kondisi pasar saat ini kurang dilindungi regulasi yang menyebabkan banyak produk dengan harga lebih murah dapat masuk ke Indonesia," ujar Wakil Ketua API, David Leonardi, dalam keterangan resminya, Selasa (18/6/2024).

Berdasarkan data impor di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), menurut David, tercatat produk yang paling banyak diimpor adalah sektor produk kain, serat dan yang terbesar adalah sektor pakaian jadi yang tidak tercatat.

"Berdasarkan data impor tercatat, sektor produk TPT yang paling besar diimpor adalah sektor produk kain sebesar 39,64 persen, diikuti sektor serat sebesar 32,4 persen. Namun, terdapat impor yang tidak tercatat pada sektor pakaian jadi," tutur David.

David melanjutkan, impor tidak tercatat tersebut yang menyebabkan banyaknya industri TPT yang mengalami penurunan penjualan hingga berujung pada gulung tikar dan PHK massal.

David mengatakan produk impor pakaian jadi yang tidak tercatat itu menyebabkan sulitnya pelacakan, sehingga diragukan apakah mengikuti regulasi impor produk TPT.

"Impor tidak tercatat menjadi faktor lainnya yang menyebabkan terjadi PHK di industri TPT. Impor tidak tercatat tersebut tidak dapat dilacak sehingga tidak jelas apakah produk tersebut sudah mengikuti peraturan impor produk TPT," ungkap David.

Dengan kondisi demikian, David pun menyatakan bahwa kondisi mayoritas perusahaan tekstil dalam negeri saat ini mengalami kesulitan keuangan, sehingga terpaksa harus melakukan efisiensi secara ekstrem, bahkan tak jarang harus menutup pabriknya secara permanen.

Kondisi ini, dikatakan David, sekaligus untuk menjawab keluhan Asosiasi Buruh tentang belum tuntasnya pembayaran pesangon karyawan, imbas dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan sejak akhir 2023 lalu.

Saat itu, sedikitnya 10 perusahaan tekstil lokal terpaksa harus melakukan PHK terhadap 13.800 karyawan demi efisiensi, seiring menurunnya permintaan pasar, yang berujung pada memburuknya keuangan perusahaan.

Menjawab keluhan tersebut, David menyebut bahwa kondisi industri TPT saat ini tengah mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan. Hal ini membuat kondisi kas perusahaan tertekan, sehingga tidak memungkinkan untuk memenuhi berbagai kewajibannya, termasuk pembayaran pesangon bagi karyawan korban PHK.

"Sehingga, perusahaan yang cash flownya sudah tidak kuat, otomatis mereka tidak akan sanggup untuk membayar pesangon karyawannya," keluh David.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja industri TPT ini memang tak dapat dielakkan.

Namun demikian, PHK massal tersebut masih menyisakan permasalahan pesangon bagi belasan ribu pekerja yang dirumahkan tersebut.

"Pesangon karyawan TPT yang di-PHK ini masih ada yang belum jelas. Meski sebagian perusahaan masih tahap negosiasi, tetapi masih ada perusahaan yang belum jelas penyelesaiannya," ujar Ristadi, dalam kesempatan terpisah.

Ristadi mengatakan, situasi tersebut diperolehnya berdasarkan informasi dari pekerja-pekerja Industri TPT yang tergabung dalam KSPN. Menurut Ristadi, ada salah satu perusahaan TPT, yang tidak bisa dia sebutkan namanya, yang manajemennya belum mengungkapkan negosiasi uang pesangon bagi karyawan yang di-PHK tersebut.

"Ketidakjelasan pesangon ini maksudnya manajemen perusahaannya itu belum bunyi sama sekali soal kesanggupan pesangon karyawannya. Jadi belum jelas. Sampai sekarang masih banyak teman-teman pekerja perusahaan TPT yang masih belum jelas uang pesangonnya. Belum cair lah begitu," tutur Ristadi.

Di sisi lain, Ristadi mengatakan sejumlah perusahaan TPT yang melakukan negosiasi atas pesangon tersebut. Ristadi mencontohkan perusahaan tekstil, PT Sai Apparel asal Semarang, Jawa Tengah, sudah berhasil merampungkan negosiasi pesangon karyawannya. (TSA)

SHARE