Potensi Perdagangan Karbon Indonesia Capai Rp8.000 Triliun, Ini Rinciannya
Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon.
IDXChannel - Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon. Hal itu juga dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang dapat membantu melestarikan lingkungan.
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.
Sedangkan luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.
Dari data tersebut, maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton, dan jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun.
CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) Lamon Rutten mengatakan, tujuan utama dari perdagangan karbon adalah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sistem perdagangan karbon yang dirancang dengan baik untuk tujuan kepentingan publik domestik dapat memberikan manfaat tambahan lingkungan dan sosial.
"Manfaatnya pun beragam, dan bergantung pada desain sistem perdagangan karbon yang diterapkan, mulai dari memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat, ketahanan energi, penciptaan lapangan kerja, dan perubahan penggunaan lahan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (21/9/2021).
Adapun beberapa manfaat lain dari perdagangan karbon antara lain, pertama, mendukung tujuan kebijakan publik. Perdagangan karbon dapat menghasilkan pendapatan fiskal. Regulator dapat menempatkan pendapatan ini untuk berbagai penggunaan, seperti mengalokasikan pendapatan untuk penelitian dan pengembangan aksi iklim, memberlakukan reformasi pajak, dan memberikan kompensasi bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dari biaya energi yang lebih tinggi.
Kedua, meningkatkan kualitas udara. Sebuah studi dari 20 negara penghasil emisi terbesar memperkirakan bahwa rata-rata harga karbon sebesar USD57,5/tCO2 akan menghasilkan nilai yang sama dari manfaat tambahan yang diperoleh di dalam negeri, yang terutama mencerminkan nilai pengurangan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Secara global, diperkirakan bahwa pengurangan GRK hingga 50% pada tahun 2050 dapat mengurangi jumlah kematian dini akibat polusi udara sebesar 20-40%.
Ketiga, mendukung inovasi teknologi rendah karbon. Dengan menetapkan NEK, perdagangan karbon dapat mengubah kondisi pasar untuk mendukung proses, produk, dan teknologi produksi rendah karbon. Selain itu juga memberikan insentif bagi perusahaan dan pengusaha yang terlibat dalam kegiatan inovasi.
Sebagai contoh, Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penambahan kapasitas terpasang PLTS atap pada 2025 dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW). Dari kapasitas tersebut potensi penerimaan PLN dari penjualan nilai ekonomi karbon dan tarif layanan khusus energi baru terbarukan (EBT) mencapai Rp1,54 triliun per tahun.
Secara garis besar, ekonomi hijau merupakan kesinambungan kontribusi dari berbagai skala, mulai dari individu hingga skala yang lebih besar. "Dalam hal ini, Indonesia dapat berperan sentral dan menjadi poros ekonomi rendah karbon mengingat potensi lahan dan serapan karbon yang cukup tinggi. Misi Indonesia untuk mencapai pengurangan GRK dapat tercapai apabila perdagangan karbon yang terorganisir dimulai sejak dini," jelas Lamon. (TIA)