Skema Power Wheeling Diminta Tak Masuk RUU EBET, Ini Alasannya
pembahasan yang dilakukan selama ini juga dinilai tidak transparan, sehingga terlihat ada hal-hal yang berusaha ditutup-tutupi.
IDXChannel - Turut dibahasnya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terus memantik pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Sebagian pihak, misalnya, meminta agar bahasan tersebut tak dimasukkan dalam RUU EBET lantaran dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terkait kendali negara atas sumber daya listrik.
Terlebih, pembahasan yang dilakukan selama ini juga dinilai tidak transparan, sehingga terlihat ada hal-hal yang berusaha ditutup-tutupi.
"Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, dalam keterangan resminya, Senin (5/8/2024).
Dalam pasal 33 tersebut, menurut Bisman, sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang wajib dikuasai negara.
Bahkan Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan hal itu, serta menolak klausul power wheeling yang sempat masuk dalam dalam UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
UU No. 20 tersebut dianggap telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud pasal 33 ayat 2 UUD 1945.
"Dengan demikian, usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara dengan cara mengelola, mengatur, mengambil kebijakan, mengurus hingga memberikan pengawasan," ujar Bisman.
Selain itu, Bisman menjelaskan, pemerintah dan DPR juga harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET.
DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas transparansi keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU EBET.
Dalam penyusunan, dikatakan Bisman, seharusnya DPR dan pemerintah harus menyelesaikan syarat formil pembentukan undang-undang.
"Mulai paparan ke publik, menerima masukan hingga pembahasan harus dibuka secara gamblang. Tidak dilakukan secara tertutup di hotel-hotel. Penyusunan RUU EBET menjadi tidak transparan," ujar Bisman.
Dengan tidak adanya transparansi, Bisman menyebut skema power wheeling telah menyusup ke RUU EBET dan menjadi pintu masuk kembalinya sistem pengusahaan unbundling yang mengarah kepada privatisasi, kompetisi dan liberalisasi ketenagalistrikan.
"Sekali lagi, power wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET. Pengaturan power wheeling dalam RUU EBET merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan," ujar Bisman.
(Taufan Sukma)