Tingkat Kerugian Ekonomi Akibat Peredaran Minuman Beralkohol Capai Rp256 Triliun
Dari perhitungan ekonomi studi dampak minuman alkohol oleh Montarat menunjukkan bahwa beban terhadap PDB negara berkisar 0,45% hingga 5,44%.
IDXChannel - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebutkan dari perhitungan ekonomi studi dampak minuman alkohol oleh Montarat menunjukkan bahwa beban terhadap PDB negara berkisar 0,45% hingga 5,44%.
"Dari 20 riset di 12 negara disebutkan bebannya setiap tahun berkisar 0,45% sampai dengan 5,44%," ujar Bhima Yudhistira, dalam RPDU terkait penyusunan RUU Larangan Minuman Beralkohol, Rabu (14/7/2021).
Menurutnya apabila Indonesia mengambil perbandingan terhadap Amerika Serikat sebesar 1,66% yang sesama negara G20, maka tingkat kerugian ekonomi terhadap alkohol pada 2020 yakni 1,66% dikalikan PDB 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun menghasilkan angka Rp256 triliun.
"Jika mengambil batasan paling rendah yakni 0,45% maka tingkat kerugian ekonomi Indonesia akibat alkohol sebesar Rp69,4 triliun atau lebih tinggi kerugiannya dibandingkan pendapatan negara dari sisi cukai yang hanya Rp7,14 triliun," jelas Bhima Yudhistira.
Sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa pelarangan total minuman beralkohol menyelamatkan perekonomian karena bisa menekan kerugian perekonomian dibandingkan benefit yang didapatkan negara dari alkohol.
"Dampak alkohol di antaranya yakni biaya kesehatan akan meningkat dari pembiayaan BPJS Kesehatan, biaya kriminalitas dan kekerasan yang diakibatkan alkohol, serta angka kecelakaan," jelas Bhima Yudhistira.
Anggota DPD RI, Fahira Idris menyebutkan dengan adanya RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) di berbagai negara maju mengatur ketat perihal minuman beralkohol (minol).
"Hampir semua negara memiliki aturan perihal minuman beralkohol. RUU LMB ini masih akomodatif. Di Pasal 8 disebutkan semua larangan itu tidak berlaku untuk kepentingan terbatas seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan farmasi," ujar Fahira Idris.
Ia juga menekankan dengan adanya UU LMB yang apabila disahkan maka aparat dapat memiliki payung hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar terkait produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol untuk lebih bertanggung jawab.
"Jadi kalau ada isu RUU ini berpengaruh pada pariwisata, pabrik minuman beralkohol akan tutup dan melahirkan pengangguran tidak beralasan, karena minuman beralkohol dikecualikan untuk wisatawan dan masih diperbolehkan di tempat tertentu yang akan diatur pemerintah," jelas Fahira Idris.
Ia juga mengingatkan untuk meminimalisir miras oplosan maka harus dilakukan pembatasan terhadap ethanol.
"Kalau ethanol masih bisa dibeli seperti kacang goreng, siapa saja bisa beli sebanyak apapun maka miras oplosan masih marak. Jika ethanol produksi dan distribusinya sudah tertata dengan baik maka kecil kemungkinan miras oplosan diproduksi karena bahan dasarnya sulit dibeli," tandasnya. (TYO)