ECONOMICS

Usai Batu Bara, Terbitlah Polemik Kelangkaan Minyak Goreng

Iqbal Dwi Purnama 31/01/2022 15:41 WIB

Sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia Indonesia justru lebih tertarik untuk menjual batubara tersebut dengan harga dollar ketimbang rupiah.

Minyak goreng murah

IDXChannel - Pada awal tahun 2022 pemerintah mengambil kebijakan untuk menyetop ekspor komoditas batubara hinggi tanggal 31 Januari 2022. Hal tersebut disebabkan pasokan batubara sebagai bahan baku mayoritas penghasilan listrik di dalam negeri kurang. 

Sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia Indonesia justru lebih tertarik untuk menjual batubara tersebut dengan harga dollar ketimbang rupiah. Akhirnya Indonesia tercancam 'gelap' jika ekspor terus dibiarkan.

Hal yang sama terjadi pada komoditas lain seperti CPO (Crude Palm Oil) sebagai bahan baku produksi minyak goreng di dalam negeri. Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi Gerindra, Andre Rosiade menjelaskan saat ini harga CPO atau minyak mentahnya saja sudah tembus Rp15 ribu/Kg. Sedangkan ketika harga minyak goreng di pasar memiliki harga Rp11 ribu/liter itu harga CPO nya hanya bekisar Rp7-8 ribu/Kg.

Harga bahan mentah yang mahal akhirnya membuat harga barang jadi pun ikut meroket. Bahkan harga minyak goreng per liter sempat tembus di harga Rp20 ribu/Kg. Hal tersebut membuat pemerintah menetapkan kebijakan satu harga yang menetapkan harga minyak goreng dalam Rp14 ribu/Kg.

"Pemerintah berencana melakukan operasi pasar dengan harga Rp14 ribu itu, dengan target Rp1,2 miliar liter dalam waktu 6 bulan atau 200 juta liter/bulan, ternyata pemerintah hanya bisa mengumpulkan 20 juta pada bulan Januari ini," ujarnya saat dihubungi MNC Portal, Minggu (30/1/2022).

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menganggap kebijakan tersebut adalah kebijakan yang gagal. Sebab bukan pemerataan harga yang dihasilkan, justru yang gagal kelangkaan karena target yang dicita-citakan pemerintah tersebut tidak tercapai.

"Pemerintah gagal memahami psikologi konsumen dan supply chain-nya, serta belum ada kebijakan minyak goreng dari hulu dan hilir. Akhirnya, dari seluruh kebijakan pemerintah sia-sia dan tidak efektif sampai hari ini,” kata Tulus.

Akhirnya jika hal demikian yang sudah terjadi barulah pemerintah mengambil kebijakan untuk mengatur ekspor minyak goreng dengan mengalokasikan sebesar 20% produksi untuk pemenuhan pasar dalam negeri.

Menurutnya persoalan hulu dan hilir minyak goreng ini mesti dituntaskan, sayangnya belum ada aksi komprehensif untuk menyelesaikannya. Tulus menduga masalah harga minyak ini seperti ada sindikat atau semacam.kartel.
    
"Bahkan KPPU bilang hanya ada empat perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia. Pemerintah, melalui Polri dan KPPU mesti mengusut dugaan kartel dan kemungkinan adanya penimbunan,”  pungkasnya.

(NDA)

SHARE