ECONOMICS

Utang BUMN Meningkat, Pengamat Sebut Risiko Gagal Bayar Tak Separah Evergrande

Suparjo Ramalan 16/10/2021 12:55 WIB

Hidden debt merupakan utang yang tidak transparan atau dilaporkan sebagai utang pemerintah.

Utang BUMN Naik (Ilustrasi)

IDXChannel - Laporan lembaga riset Amerika Serikat (AS) AidData perihal 'utang tersembunyi' Indonesia dari Cina senilai USD17,28 miliar atau setara Rp266 triliun menjadi sorotan sejumlah pihak. Namun, utang tersebut tidak dikategorikan sebagai pinjaman pemerintah. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang sebesar Rp266 triliun berasal dari skema business to business (B to B) BUMN, special purpose vehicle (SPV), perusahaan patungan, hingga swasta. Artinya, pinjaman tersebut menjadi tanggung jawab pihak terkait dan bukan pemerintah. 

Meski begitu, Kemenkeu tidak menampikan jika pinjaman itu berpotensi wanprestasi dan berisiko kepada keuangan pemerintah. Dari laporan AidData, terjadi kenaikan utang berbentuk hidden debt di negara yang menjalin kerjasama proyek infrastruktur dengan China. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai hidden debt merupakan utang yang tidak transparan atau dilaporkan sebagai utang pemerintah, karena melalui skema rumit seperti pembentukan joint venture hingga special purpose vehicle atau perusahaan cangkang yang melibatkan entitas perusahaan negara. Bahkan, pengawasan hidden debt BUMN atau perusahaan swasta tergolong rumit.

"Jadi seolah itu B to B BUMN buat konsorsium misalnya, padahal yang menjamin proyek dan pendanaan adalah pemerintah. Kalau hidden debt lebih susah lagi mengawasi BUMN, apalagi proyek yang didanai China rentan terjadi praktik korupsi," ujar Bhima saat dimintai pendapatnya, Sabtu (16/10/2021).

Di lain sisi, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya kenaikan utang luar negeri BUMN di sektor non keuangan, terutama di bidang konstruksi. Per Agustus 2021, utang luar negeri BUMN non-keuangan meningkat 3,42 atau mencapai USD48,17 miliar. Sementara, kenaikan utang luar negeri pada Juli 2021 tumbuh 2,34 persen secara tahunan.  

"Disaat pertumbuhan utang luar negeri swasta justru melemah. Ini sudah janggal, kok swasta-nya rem utang, justru BUMN yang gencar berhutang padahal situasi dunia bisnis pada Agustus kan masih mengalami lonjakan Covid-19," kata dia.

Dengan adanya kenaikan utang BUMN di sektor non keuangan akan menyebabkan terjadinya gagal bayar? Dan bernasib seperti perusahaan properti asal China, Evergrande?

Menurut Bhima, risiko gagal bayar mungkin tidak separah Evergrande di China, namun perlu diwaspadai adalah bailout negara melalui penyertaan modal negara (PMN). 

Artinya, ketika proyek mengalami gagal bayar (default) atau pembengkakan biaya yang luar biasa, maka pemerintah ikut bertanggung jawab. Alasannya, karena proyeknya dijamin Negara. Dia mencontohkan seperti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mengalami pembengkakan hingga di angka USD8,6 miliar. 

"Apapun yang terjadi Negara perlu turun tangan. Ujungnya APBN yang harus melakukan talangan kepada BUMN yang bermasalah. Padahal awalnya B2B dimana seolah negara tidak ikut campur," tambah dia. 

Saat ini krisis Evergrande dikhawatirkan berpotensi memperlambat ekonomi China sebagai negara terbesar kedua dunia. Belum lagi, dirundung soal virus corona yang terus bermutasi, inflasi yang mungkin sulit dikendalikan dan Federal Reserve yang membendung pembelian obligasi. (NDA)

SHARE