MARKET NEWS

Lama Terlupakan, Saham Emiten Semen Menyemai Harapan

Melati Kristina - Riset 10/10/2022 06:30 WIB

Industri semen tengah menghadapi gejolak di tengah naiknya harga batu bara. Kendati kinerjanya merosot, industri ini masih prospektif.

Lama Terlupakan, Saham Emiten Semen Menyemai Harapan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Industri semen sedang menghadapi gejolak di tengah pemulihan industri hingga harga komoditas batu bara yang menanjak sepanjang tahun ini. Kendati demikian, sejumlah sentimen positif masih menopang prospek industri ini kedepannya.

Naiknya batu bara tentu berpengaruh bagi industri semen karena komoditas ini merupakan sumber energi utama dalam produksi semen, terutama pada proses klinkerisasi.

Dilansir dari Tradingeconomics per Kamis (6/10), harga batu bara ICE Newcastle mencapai USD396,25/ton. Ini berarti, sepanjang tahun 2022, harga batu bara sudah terkerek hingga 151,59 persen. Sementara, dalam setahun terakhir, harga batu bara melesat hingga 63,74 persen.

Adapun lonjakan harga batu bara tersebut mendorong naiknya biaya energi bagi perusahaan-perusahaan semensejak tahun 2021.

Sebagai contoh, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) mengalami kenaikan biaya energi per ton sebesar 10 persen. Sedangkan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) juga mengalami kenaikan hingga 25 persen di tahun 2021.

Biaya energi dari batu bara tersebut memiliki kontribusi sebesar 50 hingga 60 persen terhadap total biaya energi. Sementara di tahun yang sama, biaya energi SMGR dan INTP masing-masing berpengaruh terhadap 30 persen dan 38 persen dari total pengeluaran perusahaan.

Dalam memitigasi dampak tersebut, baik SMGR dan INTP meningkatkan penggunaan batu bara dengan nilai kalori lebih rendah dan memanfaatkan bahan bakar alternatif.

Di samping itu, pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi Domestic Market Obligation (DMO) yang memerintahkan produsen batu bara dalam negeri untuk menjual 25 persen dari produksi bagi konsumsi dalam negeri.

Sementara itu, pemerintah juga membatasi harga tertinggi batu bara yang dijual ke sektor semen sebesar USD90/ton, atau disebut kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) yang baru diimplementasikan pada tahun ini.

Menurut Riset CIMB bertajuk “Cement: The Next Earnings Expansion Phase” yang diterbitkan pada Jumat (2/9), SMGR mampu memenuhi 100 persen pasokan batu bara dengan harga DPO untuk produksi perusahaan.

Sedangkan INTP hanya mampu memenuhi50 persen pasokan batu bara dengan hargaDPO untuk produksi.

Sentimen IKN Topang Pemulihan Industri

Kendati kenaikan batu bara membebani kinerja perusahaan, industri semen masih ditopang sentimen positif dari pembangunan Ibu Kota Negara baru (IKN).

Adapun Pembangunan IKN tersebut berlangsung dari tahun 2022 hingga 2024 dengan anggaran pembangunan sebesar Rp461 triliun.

Menurut riset Mirae Asset Indonesia Sekuritas bertajuk “Cement: Time for Bigger Players to Shine; Initiate at Overweight” yang dirilis pada Rabu (14/9),pengembangan IKN akan meningkatkan permintaan bagi emiten semen sekitar 2-3 persen dari permintaan domestik tahunan.

“Baik SMGR maupun INTP memiliki posisi yang baik untuk mendapatkan manfaat dari proyek IKN karena keduanya punya kedekatan produksi dengan pasar,” tulis analis Mirae Asset Indonesia Sekuritas, Emma Fauni, Rabu (14/9).

Informasi saja, INTP memiliki pabrik yang berlokasi di Tarjun, Kotabaru, Kalimantan Selatan yang berkapasitas 2,6 juta/tahun. Sedangkan SMGR dapat memenuhi permintaan IKN dengan menggunakan pabriknya di Sulawesi atau Gresik.

Sementara dalam riset UOB KayHian berjudul “Sector Update: Cement-Indonesia” yang dirilis pada Rabu (5/10) disebutkan, anggaran IKN saat ini dapat mendorong penjualan semen yang lebih tinggi.

“Kami memperkirakan volume penjualan semen SMGR dan INTP akan tumbuh karena keduanya telah memastikan kesiapannya dalam memasok semen ke IKN,” tulis analis UOB KayHian, Limartha Adhiputra, Rabu (5/10).

Kinerja Pemain Industri Semen Masih Terkontraksi

Industri semen Tanah Air didominasi oleh nama besar seperti SMGR hingga INTP. Adapun, SMGR memegang pangsa kapasitas produksi terbesar dengan jaringan distribusi yang tersebar luas di Tanah Air.

Sebagai emiten BUMN, SMGR tentunya memiliki peluang lebih besar dalam menggarap proyek pembangunan nasional. Menurut riset Mirae Sekuritas, sebesar 75 persen pendapatan SMGR berasal dari proyek strategis nasional.

Adapun keberhasilan SMGR dalam mengamankan 100 persen konsumsi batu bara dengan harga DPO di kuartal ke dua 2022 berdampak pada peningkatan pengadaan batu bara sebesar 50 persen.

Dengan demikian, perolehan tersebut mengungguli emitenlain yang kemungkinan tidak mampu mendapatkan batu bara dengan harga DPO.

Sementara, dalam riset tersebut juga disebutkan, rencana akuisisi emiten semen milik BUMN yakni PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) akan memperkuat SMGR di wilayah Sumatera Selatan, terlebih SMBR adalah pemain semen terbesar di provinsi tersebut.

Asal tahu saja, melansir keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), SMGR bakal mengendalikan 75,51 persen saham SMBR.

Ditelisik dari laporan keuangan emiten di semester I-2022, SMBR mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih yang melesat 8,10 persen secara year on year (yoy). Adapun pendapatan bersihnya mencapai Rp825,50 miliar.

Sedangkan laba bersihnya juga meroket hingga 495,04 persen menjadi Rp15,78 miliar di semester I tahun ini. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, SMBR hanya membukukan laba bersih sebesar Rp2,65 miliar.

Melesatnya laba bersih emiten seiring dengan peningkatan segmen pendapatan SMBR secara signifikan. Adapun pendapatan dari penjualan mortar pihak ketiga melesat secara yoy hingga 84,83 persen menjadi Rp69,76 juta.

Sementara segmen pendapatan lainnya yang turut meningkat di semester I-2022 yaitu penjualan semen kantong pihak ketiga (12,37 persen) dan penjualan white clay(tanah liat)kepada PT Pupuk Sriwijaya (20,12 persen).

Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari penjualan semen kantong mencapai Rp735,83 miliar sementara penjualan white claymencapai Rp17,15 miliar.

Di sisi lain, induk SMBR, yaitu SMGR malah mencatatkan pendapatan bersih yang terkontraksi hingga minus 2,08 persen di semester I-2022.

Sebagaimana dilansir dari laporan keuangannya, pendapatan bersih yang diperoleh SMGR di periode ini mencapai Rp15,88 triliun.

Kendati mengalami kemerosotan pendapatan bersih, laba bersih SMGR masih tumbuh sebesar 4,36 persen secara yoy. Adapun laba bersih yang dibukukan SMGR di semester I tahun ini sebesar Rp828,76 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Berbanding terbalik dengan SMBR dan SMGR yang masih mencatatkan kenaikan laba bersihdi semester I-2022, laba bersih INTP ambruk hingga minus 50,30 persen menjadi Rp291,55 miliar.

Merosotnya laba bersih INTP disebabkan oleh membengkaknya beban pokok pendapatan hingga 12,45 persen secara yoy menjadi Rp5,14 triliun.

Selain itu, di periode ini, INTP mencatatkan peningkatan porsi beban pendapatan terhadap pendapatan bersih menjadi 74,41 persen dari semester I-2021 yang hanya sebesar 68,59 persen.

Meski begitu, pendapatan bersih INTP masih meningkat hingga 3,66 persen menjadi Rp6,91 triliun di semester I-2022. INTP merupakan produsen semen terbesar kedua di Indonesia dengan pangsa kapasitas produksi mencapai 27,5 persen.

Selain mencatatkan kinerja keuangan yang anjlok di semester I-2022, performa saham INTP juga menjadi yang paling buruk di banding SMBR maupun SMGR.

Berdasarkan data BEI pada penutupan Kamis (6/10), INTP mencatatkan kinerja secara year to date (YTD) yang ambles hingga minus 24,59 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Dalam setahun terakhir, saham INTP terus merosot. Pada 4 November 2021, saham INTP pernah mencapai Rp12.750/saham. Akan tetapi, per penutupan Kamis (6/10), harga saham emiten semen ini hanya Rp9.125/saham.

Sama seperti INTP, SMBR juga mengalami tren saham yang merosot sepanjang setahun terakhir. Padahal, emiten ini pernah mencapai Rp840/saham pada 14 Oktober 2021 sebelum anjlok menjadi Rp474/saham pada Kamis (6/10). Sementara secara YTD saham SMBR juga merosot di minus 23,55 persen.

Walaupun emiten semen lainnya mengalami penurunan harga saham secara YTD, saham SMGR masih tumbuh positif sepanjang 2022, meski hanya naik 1,03 persen. Sementara dalam setahun belakangan, saham SMGR juga mengalami penurunan.

Akan tetapi, setelah anjlok di level Rp6.000/saham pada 22 April 2022, saham SMGR mampu merangkak naik hingga Rp7,325/saham pada Kamis (6/10).

Industri Semen Masih Prospektif

Kendati saham raksasa semen seperti SMGR dan INTP masing-masing telah turun sekitar 50 persen dalam dekade terakhir, Mirae Asset masih optimistis dengan prospek industri semen dalam negeri.

Menurut riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia di atas, kinerja perusahaan semen Tanah Air diproyeksikan akan membaik kedepannya.

Adapun MiraeAsset memilih SMGR sebagai pilihan utama sebab emiten ini mampu mengamankan 100 persen konsumsi batu bara degan harga DPO di tengah kenaikan harga komoditas energi. Selain itu, SMGR memiliki kapasitas produksi hingga pangsa pasar terbesar.

“Kami memulai cakupan kami di sektor semen dengan rekomendasi overweight,” tulis analis Mirae.

Senada dengan Mirae, riset UOB KayHian juga memberikan rating overweight terhadap industri semen. Menurut riset tersebut, SMGR memiliki prospek yang bagus sebagai pemimpin pasar dengan total pangsa pasar mencapai 52 persen.

Kenaikan pangsa pasar tersebut didukung oleh langkah SMGR dalam mengakuisisi SMBR. Adapun rencana perusahaan dalam melakukan right issuedapat menjadi katalis positif untuk kenaikan sahamnya.

Sedangkan kompetitornya, INTP, akan semakin berkembang seiring ekspansi emiten untuk menembus pasar Indonesia Timur melalui pabrik semen di Maros, Sulawesi Selatan dari Semen Bosowa Maros (SBM).

Selain itu, pengoperasian pabrik penggilingan di Banyuwangi dapat memperkuat posisi perusahaan dalam menembus pasar Jawa Timur dan Bali.

Adapun analis CIMB, Bob Setiadi, memproyeksikan kinerja industri semen Tanah Air akan segera pulih. Dalam riset CIMB tersebut disampaikan, sektor semen di China saat ini diperdagangkan pada titik terendah dengan tingkat EBITDA yang lebih rendah dibanding saat krisis finansial global.

Bernasib sama, perusahaan semen Eropa juga diperdagangkan dengan EBITDA mendekati level terendah sejak tahun 2008, yakni 5,3 kali.

Kendati demikian, sektor semen di India termasuk Indonesia masih diperdagangkan di atas level terendah selama krisis finansial global.

“Dengan demikian, kami percaya EBITDA sektor semen Indonesia dapat pulih seiring pemulihan ekonomi,” tulisnya.

Periset: Melati Kristina

(ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

SHARE