MUI: Pinjol Tawarkan Kemudahan, Tapi Risikonya Naudzubillah
Keberadaan pinjaman online (pinjol) memang memberikan kemudahan bagi masyarakat. Sayangnya, tak banyak yang memahami risiko yang akan ditimbulkannya.
IDXChannel - Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub, mengatakan, keberadaan pinjaman online (pinjol) memang memberikan kemudahan bagi masyarakat. Sayangnya, tak banyak yang memahami risiko yang akan ditimbulkannya.
“Sekarang kan gini, mau pinjam ke bank ribet dengan tektek bengeknya persyaratan. Peluang itulah yang kemudian ditangkap oleh pinjaman online, yang menawarkan kemudahan dengan memanfaatkan kecanggihan IT. Cukup dengan mengunduh aplikasi, melakukan pendaftaran dengan memoto KTP dan wajah, lalu selang tidak berapa lama cair pinjamannya. Simple dan mudah. Tapi risikonya yang naudzubillah itu enggak diperhatikan oleh calon nasabah. Di titik ini justru potensi masalah akan timbul,” jelasnya.
Sholahuddin menjelaskan, sampai saat ini secara resmi belum ada fatwa khusus dari MUI mengenai pinjaman online yang meresahkan banyak masyarakat. Penerbitan fatwa tersebut pun harus melihat skema dan akibat dari pinjol itu sendiri.
“Sampai saat ini secara resmi belum ada fatwa khusus dari MUI mengenai pinjol. Untuk menetapkan hukum pinjol, sangat tergantung pada skema dan akibat yang ditimbulkannya. Jika skemanya menggunakan utang piutang berbunga, apalagi bunganya sangat besar tentu itu hukumnya haram,” kata Sholahuddin saat dihubungi oleh MNC Portal Indonesia, Jumat (3/9/2021).
Dirinya mengatakan untuk fenomena pinjol tidak bisa dihindarkan, sesuai hukum supply and demand terus meningkat bahkan diperkirakan ada 132 juta orang dan 46,6 juta UMKM di Indonesia yang tidak bankable karena tidak punya asset untuk menjadi jaminan.
Selanjutnya, pemerintah perlu mendorong untuk memperluas jaringan Lembaga keuangan yang bisa menjangkau masyarakat level paling bawah tersebut dan tentunya bisa memudahkan semua skema peminjaman untuk mendapatkan pembiayaan.
“Penting untuk mendorong pemerintah menyediakan lembaga keuangan yang bisa menjangkau masyarakat lapisan paling bawah. Mereka umumnya tidak punya akses ke lembaga keuangan karena tidak bankable (memiliki aset sebagai syarat peminjam). Bank Wakaf Mikro yang sejatinya didesain untuk memenuhi kebutuhan (dana) mereka, masih sangat sedikit (Bank Wakaf Mikro), sehingga perlu diperbanyak lagi,” ujarnya.
Terkait penggodokan fatwa, bagaimana proses dan lain-lainnya kami (MUI) mengaku pihaknya saat ini masih didiskusikan di internal MUI.
“Saat tim ini kami (MUI) masih diskusi internal. Jika faktanya ada pinjol yang baik dan ada pinjol yang tidak baik, bisa jadi pendekatannya adalah tafshil (diperinci). Kita tunggu saja fatwa finalnya nanti seperti apa,” pungkasnya. (TYO)