MUI Sebut Transaksi Elektronik Boleh, Tapi Pinjol Tak Sesuai Prinsip Syariah
Dari sudut pandang MUI, pinjaman online merupakan skema yang tak sesuai dengan syariah islam dan riba hukumnya.Â
IDXChannel - Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jaih Mubarok, mengatakan, dari sudut pandang institusi ini, pinjaman online merupakan skema yang tak sesuai dengan syariah islam dan riba hukumnya.
Seperti diketahui, pinjaman online (pinjol) merupakan istilah teknis transaksi pinjam-meminjam yang dilakukan melalui media elektronik atau online antara lain menggunakan email, WhatsApp, dan pesan singkat.
“Dari sudut pandang fatwa MUI, hal ini dapat dilihat dari segi media transaksi dan substansi transaksi. Pinjam-meminjam dalam ilmu hukum keuangan. Merujuk pada pada UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 1, angka 11, yaitu kredit dan bisa dikatakan riba,” kata Jaih saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Jumat (3/9/2021).
Menurutnya, apabila pinjam-meminjam sesuai dengan skema kredit sebagaimana diatur pada UU tersebut, namun hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah).
“Adapun transaksi secara elektronik dibolehkan karena dalam fatwa DSN-MUI ditetapkan bahwa transaksi (akad) boleh dilakukan secara lisan, tulisan, isyarat, korespondensi, dan/atau menggunakan media elektronik selama terpenuhi syarat subyektif (syarat "aqid/pihak) dan syarat obyektif (shighat akad dan obyek akad/ma"qud "alaih],” paparnya.
Tak hanya itu dalam hal ini pinjol dilakukan menggunakan skema kredit sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, akad tersebut tidak sah karena tidak terpenuhi syarat obyektifnya.
“Dalam hal pinjol dilakukan menggunakan skema kredit sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, akad tersebut tidak sah karena tidak terpenuhi syarat obyektifnya,” terangnya.
Meskipun demikian dirinya menyarankan kepada masyarakat untuk bisa lebih mengerti akad atau perjanjian sebelum dilakukan peminjaman uang baik online atau secara langsung.
“Seharusnya masyarakat mengerti isi akad (perjanjian) yang dilakukannya serta menerimanya secara sukarela karena akad berkedudukan sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (prinsip facta sun servanda) sesuai dengan hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa umat Islam terikat dengan perjanjian/akad yang dibuatnya (al-muslimun ‘ala syuruthihim),” pungkasnya. (TYO)