Keputusan untuk mendorong pelonggaran moneter juga dipengaruhi sinyal kegiatan domestik yang belum kuat. Josua mencatat bahwa kepercayaan konsumen pada September turun ke titik terendah hampir empat tahun.
"Kombinasi kebutuhan mendorong pemulihan permintaan dengan tetap menjaga kehati-hatian membuat pilihan pemangkasan terukur tampak logis, alih-alih menunggu terlalu lama hingga siklus kredit benar-benar berbalik," kata dia.
Dari sisi eksternal, Josua melihat stabilitas nilai tukar rupiah masih terjaga kuat. Dia merujuk tiga penyangga utama yang mencegah pelemahan rupiah lebih dalam meskipun terjadi arus keluar portofolio, yaitu surplus perdagangan bahan baku yang melebar (ekspor sawit dan logam), intervensi BI yang lebih terdiversifikasi (pasar spot dan transaksi lindung nilai), dan faktor revaluasi cadangan devisa.
"Melihat ke kuartal empat, posisi cadangan devisa relatif terjaga karena dukungan penarikan pinjaman dan penerbitan surat utang pemerintah dalam valuta asing. Artinya, meski aliran portofolio masih menantang, sandaran cadangan dapat membatasi pelemahan rupiah yang berlebihan," kata Josua.
Meskipun proyeksi cenderung memangkas, Josua menggarisbawahi dua alasan utama BI bisa memilih menahan suku bunga yakni jadwal RDG BI yang berdekatan dengan FOMC meningkatkan ketidakpastian dan risiko sinyal pasar.
Namun demikian, Josua memastikan, apabila BI memilih mempertahankan suku bunga, hal itu lebih merupakan upaya menata ritme kebijakan.
"Jeda tidak berarti siklus pelonggaran berakhir; dan lebih merupakan upaya menata ritme agar penurunan suku bunga tidak memicu interpretasi yang keliru," kata dia.
Dampak pemangkasan 25 bps diperkirakan akan melanjutkan penurunan bertahap suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi tenor pendek, dengan catatan sentimen global tidak memburuk tajam.
(NIA DEVIYANA)