Negara Berkembang Minim Dampak Suku Bunga Tinggi
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat, negara-negara emerging market mengalami eksposure kenaikan suku bunga yang jauh lebih ringan selama siklus pengetatan kebijakan moneter saat ini dibandingkan dengan periode taper tantrum pada 2013
“Sensitivitas rata-rata negara-negara emerging market terhadap suku bunga AS dari imbal hasil obligasi negara 10 tahun di pasar negara berkembang Amerika Latin dan Asia masing-masing menurun sebesar dua pertiga dan dua perlima,” tulis IMF dalam laporannya pada Januari 2024.
Secara khusus, IMF menyebut negara-negara berkembang lebih terisolasi dari volatilitas suku bunga global dibandingkan yang diperkirakan berdasarkan pengalaman historis, khususnya di Asia.
Selain itu, terdapat tanda-tanda ketahanan lainnya di negara-negara emerging market selama periode volatilitas ini.
Nilai tukar mata uang, harga saham, dan spread negara berfluktuasi dalam kisaran yang moderat.
“Yang lebih menarik lagi, investor asing tidak meninggalkan pasar obligasi mereka, berbeda dengan masa lalu ketika arus keluar dalam jumlah besar terjadi setelah lonjakan volatilitas suku bunga global, termasuk pada tahun 2022,”
Ketahanan ini bukan sekadar keberuntungan. Banyak negara berkembang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki kerangka kebijakan guna memitigasi tekanan eksternal.
“Mereka telah membangun cadangan mata uang tambahan selama dua dekade terakhir. Banyak negara telah menyempurnakan pengaturan nilai tukarnya dan bergerak menuju fleksibilitas nilai tukar. Perubahan nilai tukar mata uang asing yang signifikan telah memberikan kontribusi terhadap stabilitas makroekonomi dalam banyak kasus,”imbuh laporan IMF. (ADF)