"Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China lebih rendah sejalan dengan tertahannya konsumsi dan investasi terutama sektor properti," ungkap Perry.
Dia melanjutkan, tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi dipengaruhi oleh perekonomian yang lebih kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat.
Hal ini diperkirakan akan mendorong kenaikan lebih lanjut suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR).
Perkembangan tersebut mendorong aliran modal ke negara berkembang lebih selektif dan meningkatkan tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Menghadapi situasi ini, maka kita memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan global," pungkas Perry.
(FAY)