"Di tahun 2023 nanti, Program Kartu Prakerja dengan Skema Normal ditargetkan akan menjangkau 1 juta penerima. Dengan Skema Normal ini, metode pelatihan akan dilakukan secara offline, online, dan hybrid serta insentif yang diberikan akan dilakukan penyesuaian," ujar Airlangga secara virtual di Jakarta, dikutip Selasa (20/12/2022).
Lebih lanjut, dia mengatakan inklusivitas Program Kartu Prakerja menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat dan itu menjadi salah satu indikator keberhasilannya. Pemanfaatan teknologi digital dalam penyelenggaraan program ini juga sejalan dengan kondisi pandemi yang sedang dihadapi.
Inklusivitas Program Kartu Prakerja telah menjangkau sekitar 3% penyandang disabilitas, 2,9% Pekerja Migran Indonesia, 47,59% penerima dari 212 Kabupaten/Kota lokus prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem tahun 2020-2022.
Di sisi lain, peserta Kartu Prakerja mencakup 19% berpendidikan SD atau sederajat, dan 49% perempuan. Sedikitnya sekitar Rp8,72 triliun insentif telah disalurkan sepanjang 2022.
Sejauh ini, sudah terdaftar lebih dari 40 juta dengan jumlah peserta yang diterima sekitar 16,4 juta dari 514 kabupaten/kota. Artinya, kata Airlangga, infrastruktur digital di Indonesia relatif merata selama pandemi.
“Dari kuota yang diberikan ke daerah-daerah itu bisa terisi, dengan demikian sifat inklusif Kartu Prakerja menjadi tinggi. 212 kabupaten/kota di antaranya merupakan daerah miskin, sehingga target menjangkau banyak pihak dengan teknologi digital itu bisa diwujudkan,” kata Airlangga
Penyelenggaraan kartu pekerja memang dilakukan 100% secara online, sehingga dapat menjangkau dengan sangat luas. Pemanfaatan teknologi digital juga digunakan untuk pendaftaran, penyaringan peserta, hingga penyelenggaraan pelatihan.
“(Kartu Prakerja) menjadi program dengan platform teknologi. Karena apabila dengan sistem analog atau manual, tidak mungkin ada satu kementerian bisa meng-handle pendaftaran 40,8 juta dan memprosesnya. Jadi kalau tidak menggunakan digital, tidak menggunakan AI, ini tidak bisa. Termasuk juga bagaimana menyeleksi inclusiveness, kalau kita tidak menyaring dengan teknologi, tentu akan sulit,” imbuh Airlangga.
(FRI)