Waspada Kelangkaan Masa Depan
China saat ini disebut mengimpor sekitar 90 juta ton LNG melalui kontrak jangka panjang, dengan AS memasok sekitar 25 juta ton di antaranya. Australia menempati urutan berikutnya dengan sekitar 17 juta ton, sementara Timur Tengah memasok 14 juta dan Rusia menyumbang sekitar 6 juta.
Dalam hal ini, Beijing disebut sedang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan pada LNG AS. Mengingat negeri Paman Sam merupakan produser LNG terbesar dunia.
Untuk itu, China bersiap memperluas kerja sama dengan Qatar. Presiden Xi Jinping bahkan telah melakukan pertemuan dengan Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani di ibu kota Arab Saudi, Riyadh pada Desember tahun lalu.
Hal ini menempatkan China sebagai pembeli LNG global secara dominan. Namun, di tengah upaya global untuk mengurangi emisi karbon, banyak negara diproyeksi akan menggunakan gas alam sebagai bahan bakar alternatif yang relatif bersih.
Institute of Energy Economics, Jepang memperkirakan permintaan LNG tahunan di seluruh dunia akan mencapai 488 juta ton pada tahun 2030, naik sekitar 40% dari tahun 2020.
Tetapi pasokan global berada di jalur yang tidak mencukupi permintaan sebesar 7,6 juta ton per bulan pada tahun 2025. Kondisi ini bisa memicu guncangan pasokan dan permintaan energi di masa depan.
Sebelumnya, pemegang kontrak LNG terbesar dipegang oleh Jepang. Namun, ketidakpastian permintaan di masa depan di tengah gerakan dekarbonisasi, menyusutnya populasi Jepang, dan dimulainya kembali pembangkit nuklir menyebabkan posisi negeri Sakura digeser China.
Pengimpor LNG Jepang JERA, perusahaan patungan antara utilitas Tokyo Electric Power Co. Holdings dan Chubu Electric Power, memutuskan pada akhir 2021 untuk tidak memperpanjang kontrak 25 tahun dengan Qatar untuk membeli 5 juta ton LNG setiap tahun. Sinopec tampaknya menjadi pembeli pengganti Qatar. (ADF)