“Angka itu berasal dari 30.000 ton produk stearic acid dan glycerine yang setiap bulan kami ekspor dikalikan 20% berarti 600 ton. Nah 600 ton dikalikan selisih yang harus kita bayar bahan baku dengan minyak goreng Rp9.700 per kg sama dengan Rp6,3 miliar. Kalau sekarang DMO jadi 30%, berarti defisit kami hampir Rp10 miliar dalam sebulan. Sementara margin kami tidak sampai segitu,” katanya.
Menurut Markus, aturan DMO itu tidak berdampak serius bagi industri oleokimia yang terintegrasi. Ia mengilustrasikan, misalnya industri tersebut dalam satu grup usaha juga memiliki kebun sawit, punya pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi tandan buah segar (TBS) menjadi CPO, punya pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia sampai pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.
“Bagi mereka ini akan sangat mudah melaksanakan aturan DMO itu, karena dia produksi minyak goreng. Walaupun dia rugi jual minyak goreng untuk DMO, tapi dia kan bisa menggenjot produk lain untuk diekspor,” ujarnya.
Markus mengungkapkan, lantaran sudah tiga pekan tidak berproduksi, pihaknya juga tidak bisa melakukan ekspor.
“Kita sebagai bangsa Indonesia benar-benar malu, kredibilitas kita sudah hancur di dunia internasional. Saya tidak bisa ekspor sudah sebulan ini. Buyer-buyer saya di China, Filipina dan di Eropa mau gugat di arbritase,” imbuh Markus. (FHM)