Dadan meluruskan prosedur ekspor-impor listrik PLTS Atap dengan prinsip dimaksud. Berdasarkan hasil survei internal, hasil produksi listrik dari PLTS Atap tidak seluruhnya masuk ke jaringan PT PLN (Persero). "Misalnya dari produksi listrik 100 kWh, kalau di rumah tangga hanya 24% masuk ke PLN. Sementara untuk industri, angkanya lebih kecil lagi antara 5-8% karena diproduksi sendiri," tegasnya.
Ia pun menampik skema ekspor-impor PLTS Atap yang dinilai dapat finansial PLN terganggu. "Jadi PLN bukan mengalami kerugian, tapi sisi pendapatannya berkurang. Pemerintah sudah menghitung itu. Makanya kami dorong untuk melakukan perbaikan dari sisi jam operasi pembangkit," ungkap Dadan.
Melalui proses pendekatan tersebut, pemerintah meyakini bahwa pangsa pasar PLTS akan tumbuh lebih cepat sehingga membantu percepatan bauran EBT 23% di 2025. "Saya punya keyakinan kalau kita punya market 500 MW setahun di dalam negeri. Industri hulunya akan masuk ke sini dan di saat yang sama bisa meningkatkan dari sisi Tingkat Komponen Dalam Negeri," harap Dadan.
Dadan mengungkapkan, sementara ini rencana penambahan kapasitas PLTS dalam draf RUPTL 2021-2030 setidaknya mencapai sekitar 5 gigawatt (GW). "Dari sisi kapasitas memang ini masih didiskusikan yang masuk RUPTL berapa GW, tapi angkanya sudah di 5 GW akan masuk di RUPTL untuk 10 tahun ke depan," ungkapnya.
Sejumlah upaya untuk menjawab tantangan pengembangan PLTS adalah menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasita pengembangan PLTS dalam kebijakan dan perencanaan, meningkatkan kualitas modul surya produksi dalam negeri melalui SNI Wajib sesuai Permen ESDM No 2/2021, dan bersama Kementerian Perindustrian melakukan fasilitasi terkait kebijakan TKDN antara pengembang dan industri dalam negeri. (NDA)