“Proses seleksi calon karyawan harus mengedepankan merit system. Visi entrepreneurial menjadi parameter penting, dan gaji atau insentif harus dikaitkan dengan kinerja KMP,” kata dia.
Selain itu, dia mengingatkan soal risiko kegagalan KMP jika dipaksakan berdiri di setiap desa. Menurutnya, pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD) menunjukkan model yang lebih realistis yaitu per kecamatan, bukan desa.
“Tidak perlu dipaksakan satu desa satu koperasi. Bisa jadi, satu KMP untuk beberapa desa akan lebih realistis,” tuturnya.
Wijayanto juga menyoroti potensi moral hazard terkait penggunaan Dana Desa sebagai jaminan kredit. Menurutnya, hal ini dapat membuat pengelola maupun bankir merasa kredit sudah dijamin sehingga abai terhadap risiko default.
Ia menegaskan, bank pemberi kredit harus tetap profesional dan berani menolak KMP yang tidak layak.
Isu lain yang menjadi perhatian yaitu tingginya risiko korupsi. Dengan skala program yang besar dan pelaksanaan masif, ia menilai KMP berpotensi menjadi ladang praktik korupsi.
“Program dengan biaya besar dan dijalankan secara tergesa-gesa sangat rentan dijadikan ajang korupsi. KMP memenuhi hampir seluruh syarat untuk dijadikan mainan para koruptor,” ujarnya.
Tak hanya itu, Wijayanto memperingatkan risiko gejolak sosial jika Dana Desa benar-benar dieksekusi sebagai jaminan kredit.
"Hampir bisa dipastikan masyarakat desa akan melakukan protes. Jika terjadi di ribuan desa secara bersamaan, isu ini bisa menjadi masalah ekonomi sekaligus politik nasional,” paparnya.
Menurutnya, keberhasilan KMP hanya bisa dicapai jika dirancang dengan strategi yang tepat, tim yang kompeten, dan prinsip tata kelola yang kuat. Jika tidak, program dengan biaya fantastis ini justru berpotensi menjadi masalah besar di kemudian hari.
(Febrina Ratna Iskana)