IDXChannel - Menjelang pembacaan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memberikan analisis mengenai arah kebijakan fiskal pemerintah.
Bhima menyoroti tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan belanja dan penerimaan negara di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Menurut Bhima, rencana APBN 2026 yang disusun pemerintah masih fokus pada alokasi belanja untuk program-program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih. Namun, hal ini dikhawatirkan dapat memicu efisiensi anggaran di sektor lain.
"Proyeksi rencana APBN dalam Nota Keuangan masih bertumpu pada alokasi belanja populis seperti MBG, dan Kopdes MP dengan mengorbankan belanja lainnya," kata Bhima kepada MNC Portal, Sabtu (9/8/2025).
Bhima menambahkan, langkah efisiensi tersebut berisiko mengganggu pelayanan publik, memperlambat pertumbuhan ekonomi di beberapa sektor, dan mengurangi alokasi dana untuk daerah.
Untuk menutupi kebutuhan belanja, Bhima memprediksi pemerintah akan bergantung pada penerbitan utang. Ia memperkirakan utang pemerintah pada 2026 akan meningkat secara signifikan dibandingkan 2025.
"Meski dilakukan efisiensi, karena kebutuhan belanja populisnya besar berisiko tinggi memperbesar rencana penerbitan utang. Tahun 2026 utang pemerintah akan melonjak signifikan dibanding 2025," tutur Bhima.
Dari sisi penerimaan, Bhima menyoroti strategi pemerintah yang dinilai kurang kreatif dalam mencari sumber pajak baru. Pemerintah dipandang masih akan mengandalkan pajak dari kelas menengah dan belum mengimplementasikan pajak karbon.
Bhima juga mengingatkan bahwa sektor komoditas mungkin tidak bisa menjadi andalan utama. Ia memproyeksikan harga komoditas strategis seperti CPO, batu bara, dan nikel akan cenderung rendah pada 2026.
"Kalau berburu di kebun binatang untuk naikkan rasio pajak, yang merugi adalah kelas menengah makin turun jumlahnya," ujar Bhima.