sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Fakta Menarik Turki, Negara G20 yang Terpuruk Inflasi Tahun Ini

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
07/11/2022 15:21 WIB
Inflasi negara yang dijuluki ‘the Sick Man of Europe’ ini menembus angka 85,51% pada Oktober tahun ini.
Fakta Menarik Turki, Negara G20 yang Terpuruk Inflasi Tahun Ini. (Foto: MNC Media)
Fakta Menarik Turki, Negara G20 yang Terpuruk Inflasi Tahun Ini. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 di Bali tinggal menghitung hari. Sebagai sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional, G20 beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia.

Sesuai namanya, G20 memiliki 20 anggota yang terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.

Anggota G20 adalah Australia, Argentina, Brasil, Kanada, China, Uni Eropa, Jerman, Perancis, India, Indonesia, Meksiko, Jepang, Italia, Arab Saudi, Rusia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.

Di tahun ini, beberapa negara G20 menghadapi tantangan ekonomi yang cukup berat.

Mengutip Reuters (7/11), inflasi yang tidak terkendali, krisis utang yang sedang berlangsung, dan masalah biaya hidup juga menjadi ancaman terbesar saat ini hingga dua tahun ke depan bagi negara-negara G20, menurut data World Economic Forum.

Inflasi yang semakin melambung ini mendorong sepertiga dari negara-negara G20 untuk mengidentifikasi masalah kenaikan harga sebagai perhatian utama mereka.

Salah satu yang terkena dampak inflasi paling dalam adalah Turki. Inflasi negara yang dijuluki ‘the Sick Man of Europe’ ini menembus angka 85,51% pada Oktober tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

Inflasi Turki Terus Naik

Angka ini meningkat dari 83,5% pada bulan sebelumnya dan menjadi yang tertinggi sejak Juni 1998. Kondisi ini disinyalir karena nilai tukar mata uang lira terhadap dolar AS dan bank sentral yang terus memangkas suku bunga.

Apa yang Terjadi di Turki?

Data dari Turkish Statistical Institute menunjukkan resesi di Turki dimulai pada kuartal ketiga (Q3) 2018, meskipun ekonomi masih tumbuh sebesar 2,3%.

Perekonomian negara itu jatuh ke dalam pertumbuhan negatif dimulai pada Q3 hingga Q2 2019.

Krisis ekonomi Turki pada 2018 hingga 2019 dipicu oleh defisit transaksi berjalan yang besar, meningkatnya utang swasta berdenominasi mata uang asing, dan kebijakan ekonomi presiden Erdogan yang mendorong suku bunga bank sentral yang rendah meskipun inflasi tinggi.

Ekonomi mulai pulih pada Q3 2019, mencatat pertumbuhan moderat 1% dan 6% pada kuartal terakhir 2019.

Dari 2020 hingga 2021, pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren yang cukup rollercoaster. Pertumbuhan paling lambat terjadi pada Q3 2020, ketika ekonomi mengalami kontraksi 10,4%. Sementara pertumbuhan tercepat tumbuh 21,4% pada 2021.

Pada 2021, pertumbuhan PDB tahunan Turki melonjak menjadi 11,4%, dari sebelumnya 1,9% pada 2020.

Memasuki tahun 2022, perekonomian mulai mendingin karena hambatan eksternal. Salah satu faktornya adalah kenaikan harga komoditas yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina dan siklus pengetatan oleh bank sentral yang mulai menghambat pertumbuhan.

Pada periode April hingga Juni 2022, ekonomi Turki tumbuh lebih kuat dari perkiraan sebesar 7,6%. Meskipun inflasi melonjak dan lira melemah, perekonomian juga tercatat tumbuh 7,5% di Q1.

Konsumsi swasta menjadi pendorong utama pertumbuhan pada Q2 tersebut yang tumbuh sebesar 22,5% year-on-year (YoY), diikuti oleh ekspor yang meningkat 16,5%.

Selama bertahun-tahun, Turki telah berjuang dengan tekanan inflasi. Namun, karena biaya energi yang semakin tinggi, guncangan pasokan terhadap harga komoditas pangan dan pertanian, inflasi ekonomi mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2022.

Transportasi mencatat kenaikan tahunan tertinggi, naik 117,2% YoY pada Oktober 2022. Tekanan utama inflasi bulan Oktober ini masih berasal dari harga makanan dan minuman non-alkohol sebesar 99,1%. Meskipun angkanya menurun dibanding inflasi bulan sebelumnya sebesar 93,1%.

Di tengah kondisi ini, bank sentral memilih untuk terus melanjutkan kebijakan suku bunga rendahnya.

CBRT telah memangkas suku bunga pinjaman secara kumulatif sebanyak 850 basis poin (bps). Hingga suku bunga acuan tercatat pada level 10,50% pada Oktober 2022, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 19% pada Maret 2021.

Sementara bank sentral di belahan dunia lain mengambil pendekatan yang berlawanan untuk menjinakkan inflasi.

Tak hanya itu, pemangkasan suku bunga telah menekan mata uang lira Turki (TRY) di tengah penguatan dolar AS.

Pada 1 November, kurs USD terhadap TRY telah melonjak lebih dari 94% menjadi 18,6 per TRY dari hanya 3,77 per TRY pada November 2017.

Lira yang lebih lemah ini akan meningkatkan tagihan impor komoditas Turki yang dibeli melalui mata uang dolar AS. Kondisi ini membuat barang impor lebih mahal di pasar domestik.

Sementara Turki adalah importir minyak dan gas dengan produksi dalam negeri hanya memenuhi 7% dari konsumsi nasional.

Proyeksi Ekonomi Turki

Meskipun tidak menyebutkan resesi, bank investasi global J.P. Morgan memperkirakan ekonomi Turki dapat berkontraksi 2% pada Q3 tahun ini dan pertumbuhan nol% pada Q4 2022.

Sementara itu, dalam laporan inflasi pada 27 Oktober, CBRT memperkirakan inflasi Turki bisa mencapai 65,2% pada akhir 2022, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 60,4%.

Tahun depan, inflasi diperkirakan mencapai 22,3% pada akhir 2023. Sementara laju kenaikan harga diperkirakan baru akan melambat menjadi 8,8% pada akhir 2024.

Pada 10 Oktober lalu, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Turki melambat menjadi 2,7% pada 2023.

ING Group memperkirakan PDB negara itu akan tumbuh sebesar 3% di tahun depan dari perkiraan 5% pada tahun 2022. Pertumbuhan ini diperkirakan akan pulih sebesar 4% pada tahun 2024.

Sementara pada September lalu, Fitch Ratings merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Turki diperkirakan akan melambat menjadi 2,9% pada 2023 dan tetap pada level yang sama pada 2024.

Adapun proyeksi TradingEconomics memperkirakan pertumbuhan PDB Turki dapat mencapai 5,10% pada akhir 2022. Sementara tahun berikutnya melambat menjadi 3,2%.

Sebagai salah satu negara emerging market yang memiliki reputasi mentereng di antara G20, kondisi ini tentu mengkhawatirkan bagi Turki. Namun, tampaknya presiden Erdogan masih akan tetap melakukan intervensinya terhadap ekonomi Turki dan sangat memiliki ciri khas berseberangan dengan kebijakan yang diambil Barat.

Terlepas dari kondisi ekonomi global saat ini, mungkinkah jalan ekonomi yang dipilih Turki akan mempengaruhi masa depan keanggotaannya dalam organisasi G20? Menarik untuk ditunggu. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement