“Meski Pemerintah melalui SKK Migas telah berupaya menyederhanakan perizinan kegiatan hulu migas, namun hal tersebut belum berdampak pada pengurangan jumlah kelembagaan yang terlibat. Kalau kita liat beberapa tahun terakhir, ada beberapa investor yang ‘balik kampung’ karena mereka melihat prospek di luar lebih bagus, termasuk kemudahan berusahanya,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat diskusi online Jumat (21/11/2025).
Komaidi menambahkan, hasil kajian Indonesian Petroleum Association (IPA) dan Wood Mackenzie pada 2023 juga menyebutkan bahwa perizinan di Indonesia terbilang kompleks.
Beberapa faktor yang kerap menjadi kendalan antara lain sifat birokrasi dari proses perizinan, ketidakselarasan regulasi serta ketidakstabilan kebijakan akibat visi jangka pendek yang dibentuk oleh siklus politik lima tahunan.
Meski demikan, dalam hal iklim investasi hulu migas, selama lima tahun terakhir, pihaknya mencatat pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang positif. Antara lain adanya penerapan fleksibilitas sistem kontrak bagi KKKS (PSC Cost Recovery, PSC Gross Split, dan New Simplified Gross Split), kemudian adanya pemberian ruang perubahan skema kontrak dari Gross Split ke Cost Recovery, dan ketiga mekanisme negosiasi signature bonus yang disesuaikan dengan keekonomian proyek migas.
Selain itu, dalam upaya meningkatkan kemudahan berusaha dan efisiensi proses bisnis, khususnya di dalam aspek perizinan dan birokrasi di hulu migas, pemerintah juga telah mengambil sejumlah langkah yakni dengan deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkup Kementerian ESDM untuk tahapan pra-eksplorasi melalui penerbitan Permen ESDM 23/2015, Permen ESDM 15/2016 dan Permen ESDM 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018.
Kemudian, penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk pengurusan perizinan teknis di lingkup SKK Migas, dan kemudian pengembangan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS) di bawah koordinasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang diintegrasikan dengan Kementerian Teknis/Lembaga terkait.
“Terakhir penerbitan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta perubahannya menjadi UU No. 2 Tahun 2023, serta (5) penerbitan PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko,” katanya.
Meski demikian, kata Komaidi, berbagai upaya tersebut belum sepenuhnya menyentuh akar masalah dan dapat menyelesaikan permasalahan kompleksitas birokrasi-perizinan khususnya terkait izin operasional untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
“Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan yang dilakukan khususnya melalui UU Cipta Kerja maupun deregulasi di tingkat Kementerian ESDM, lebih mengarah pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur terkait perizinan yang lebih mengarah pada aspek legalitas usaha,” kata dia.
Menurutnya, penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) dalam kerangka OSS berfokus hanya pada aspek perizinan dasar dan persyaratan administratif untuk pendirian usaha. Sementara persoalan utama pada aspek perizinan dan birokrasi untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas lebih berada pada tahap operasionalnya.
Sementara itu, kebijakan One Door Service Policy (ODSP) masih terbatas pada izin atau rekomendasi yang berada di lingkungan SKK Migas.