Menurut Saleem, dari total kerugian USD1 miliar per jam tersebut, sekitar 80–85 persen ditanggung oleh India, sementara Pakistan memikul sisanya sekitar 15–20 persen.
Dia juga menyoroti perbedaan signifikan dalam investasi militer masing-masing negara. India, misalnya, mengandalkan jet tempur Rafale buatan Prancis yang dibanderol sekitar USD240 juta per unit. Total investasi India untuk armada Rafale ini mencapai USD16 miliar.
Sebaliknya, Angkatan Udara Pakistan menggunakan pesawat buatan China yang jauh lebih murah dari Rafale, seperti JF-17 Thunder dan J-10C. Masing-masing jet tempur itu berharga antara USD20 juta hingga USD25 juta.
Tak hanya itu, penggunaan rudal juga menambah beban pengeluaran. Rudal balistik India, BrahMos, memiliki harga sekitar USD3 juta per unit. “Jika digunakan 8 hingga 10 rudal per hari, maka biaya yang dikeluarkan bisa mencapai USD30 juta hanya dalam satu hari,” tutur Saleem.
Meski ketegangan telah mereda, para analis memperingatkan bahwa potensi eskalasi ulang tetap ada, terutama mengingat sejarah panjang konflik dan ketidakpercayaan antara dua kekuatan besar Asia Selatan itu.
Penasihat Menteri Keuangan Pakistan, Khurram Schehzad mengatakan, dampak fiskal terhadap Pakistan tidak akan besar.
“Ketegangan dengan India saat ini tidak akan berdampak besar pada keuangan Pakistan. Hal itu dapat dikelola dalam ruang keuangan saat ini, tanpa perlu penilaian ekonomi baru,” tuturnya.
Schehzad mengatakan ketahanan ekonomi Pakistan terbukti dari rekor baru di Bursa Efek Pakistan, yang pada Senin (12/5/2025) membukukan keuntungan satu hari tertinggi dalam lebih dari 26 tahun. Indeks saham di negeri bulan sabit itu melonjak sebesar 10.123 poin atau 9,45 persen, secara signifikan melampaui kerugian yang tercatat minggu lalu menyusul serangan India.