IDXChannel - Guru besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa mengatakan komoditas pertanian Indonesia dari sisi kualitas sebenarnya kompetitif dengan komoditas impor, namun dari sisi harga, masih kalah dari produk pertanian impor.
Menurut Dwi Andreas hal itu disebabkan karena biaya produksi pertanian di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya produksi luar negeri. Bahkan komoditas pertanian dari luar negeri yang di jual di Indonesia harganya masih lebih murah dibandingkan dengan produksi sendiri.
"Sudah jelas kalah (harganya), yang pertama subsidi yang sangat besar diberikan negara maju pada petaninya, lalu kedua, pangan diperdagangkan ketika terjadi surplus, kalau terjadi surplus orang akan berusaha melepaskan produk tersebut ke pasar Internasional," kata Dwi Andreas saat dihubungi MNC Portal, Rabu (11/1/2023).
Sedangkan di Indonesia, menurut Dwi Andreas pemerintah kurang mendukung dari segi pemberian subsidi terhadap para petani. Bahkan beberapa lahan yang petani Indonesia miliki pun masih bersifat sewa.
"Bahkan ekspor pun di Subdisi (negara maju), bisa dibayangkan, sehingga harga yang terbentuk di pasar internasional itu bukan harga yang real, jadi tidak bisa dikatakan petani Indonesia kemudian kurang efisien, ya tidak lah," kata Dwi Andreas.
"Contoh petani padi, kan sebagian besar menggunakan lahan sewa, petani hanya menggarap, apa diluar negeri apa ada lahan sewa, kan tidak, mereka dijamin oleh pemerintah," lanjutnya.
Lebih lanjut Dwi Andreas menjelaskan bahwa biaya sewa lahan tersebut juga masuk dalam ongkos produksi yang terbesar setelah tenaga kerja. Hal itu yang masih cukup membebani para petani di Indonesia. Jual harga tinggi kalah dengan produk impor, jual murah tidak mendapatkan untung.
"Vietnam menjamin warganya mendapatkan lahan 1 hektar, kalau di Indonesia harus sewa dulur tani kita, dari sana kita sudah kelihatan, bagaimana kita bisa menghasilkan pangan dengan harga atau biaya yang relatif rendah," sambung Dwi Andreas.