IDXChannel - Perusahaan raksasa penerbangan berbasis Amerika Serikat (AS), The Boeing Company kembali menghadapi tekanan usai insiden yang menimpa maskapai Alaska Airlines Boeing 737 MAX 9 pada awal Januari 2024.
Kasus ini kembali disorot baru-baru ini setelah pada tanggal 5 Januari, pesawat Boeing 737 MAX-9 milik Alaska Airlines yang terbang dari Portland ke Ontario, California terpaksa melakukan pendaratan darurat di Oregon setelah penutup pintu meledak di tengah penerbangan.
Kondisi ini menyebabkan dekompresi yang cepat meskipun tidak ada seorang pun yang duduk di samping pintu yang rusak. Selain itu, pilot dapat mendaratkan pesawat tanpa ada penumpang yang terluka.
Namun insiden tersebut membuka kotak Pandora pertanyaan dan ketidakpercayaan terhadap keselamatan pesawat Boeing.
Imbasnya, saham Boeing yang melantai di bursa New York sudah anjlok 24,99 persen sepanjang tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

Buntutnya, Federal Aviation Administration (FAA) AS menghentikan sementara sebagian besar pesawat Boeing 737 MAX-9 setelah insiden Alaska Airlines ini.
Meski demikian, Eropa terhindar dari perintah larangan terbang tersebut, karena EU Aviation Safety Agency (EASA) mengatakan tidak ada maskapai penerbangan di negara anggota EASA yang saat ini mengoperasikan pesawat dengan konfigurasi serupa.
FAA akhirnya mengizinkan pesawat tersebut untuk terbang lagi – tetapi dengan beberapa batasan.
Badan tersebut melarang Boeing memperluas produksi jet MAX-nya atau melakukan produksi tambahan untuk pesawat tersebut hingga masalah kontrol kualitas benar-benar dijamin
“Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi pada pesawat yang meninggalkan pabrik kami. Kami harus berbuat lebih baik untuk pelanggan kami dan penumpangnya,” kata Presiden dan CEO Boeing Dave Calhoun pada awal Februari lalu.
FAA juga mengaudit proses produksi pesawat tersebut, dan menemukan beberapa contoh di mana perusahaan tersebut diduga gagal mematuhi persyaratan kendali mutu manufaktur.
Terbaru, Biro Investigasi Federal (FBI) menemukan fakta baru atas penyelidikan meledaknya pintu darurat Alaska Airlines Boeing 737 MAX 9.
FBI menyebut para penumpang telah menjadi korban dari tindak pidana.
Melansir Reuters Sabtu, (23/3/2024), surat dari FBI itu merupakan bagian dari prosedur ketika sebuah kasus mulai diselidiki.
Dalam surat tersebut, Kementerian Kehakiman AS menyatakan mulai menyelidiki peran Boeing dalam insiden tersebut.
"Penumpang kemungkinan merupakan korban dari tindak pidana. Kasus ini sedang diselidiki oleh FBI. Investigasi tindak pidana membutuhkan beberapa waktu, dan untuk beberapa alasan kami tidak bisa menginformasikan tentang progres kasus ini,"kata surat tersebut.
Boeing di Indonesia
Melansir laman resmin Boeing, sepanjang sejarahnya, Garuda Indonesia (GIAA) telah menjadi langganan perusahaan ini dan telah memesan lebih dari 150 pesawat Boeing.
Selama periode pertumbuhan dan pengembangan di era 1960-an, Garuda menerima pesanan pesawat jet Douglas DC-8, diikuti dengan tipe DC-9, DC-10, dan 747-200 pada dekade 1970-an dan 1980-an.
Kini Garuda Indonesia mengoperasikan armada boeing termasuk Next-Generation 737-800, 777-300ER (ER untuk Extended Range, seri jarak panjang), dan pesawat keluaran baru, 737 MAX 8.
Tak hanya Garuda, Lion Air Group memulai operasinya pada Juni 2000 dengan pesawat sewaan 737-200.
Perusahaan yang didirikan pengusaha cum politisi Rusdi Kirana ini merupakan pemesan pertama pesawat 737-900ER dan menjadi perusahaan pertama di dunia yang menerima pesawat ini pada April 2007. Lion Air Group juga merupakan pemesan pertama jenis 737 MAX 9.
Pada pameran Singapore Airshow 2012, Boeing dan Lion Air mencatat pemesanan bersejarah yang mencapai 230 buah pesawat 737, termasuk 201 buah tipe 737 Max dan 29 buah Next-Generation 737-900ER senilai USD22,4 miliar.
Pada saat itu, jumlah tersebut merupakan pemesanan pesawat komersial terbesar dalam sejarah Boeing, baik dilihat dari nilai nominalnya maupun jumlah total pesawatnya.
Anak perusahaan Lion Air Group, Malindo Air, juga menggunakan pesawat 737 MAX 8 yang pertama pada Mei 2017.
Pada pameran Paris Air Show 2017, Lion Air Group mengumumkan komitmen untuk pemesanan 50 buah pesawat 737 MAX 10 dan menjadi bagian dari kelompok pemesan pertama untuk versi terbaru seri pesawat 737 MAX.
Lion Air Group, melalui perusahaan utamanya, Lion Air, dan anak-anak perusahaannya, yakni Malindo Air, Batik Air dan Thai Lion, mengoperasikan lebih dari 180 pesawat Boeing. Termasuk tipe Next-Generation 737-800, 737-900ER, dan pesawat keluaran baru, 737 MAX 8.
Sementara itu, ada juga Sriwijaya Air yang mengoperasikan seluruh armadanya menggunakan pesawat 737 Classic dan Next-Generation 737 milik Boeing.
Perusahaan swasta ini menerima pesanan dua pesawat 737-900ER baru pada Agustus 2015.
Pada 2014, pemerintah Indonesia menerima pesanan pesawat kepresidenan pertama, berupa Boeing Business Jet 2 (BBJ 2).
Dengan jangkauan lebih dari 5.500 mil nautikal (10.200 kilometer), pesawat ini memudahkan para pejabat pemerintahan untuk menyelesaikan tugas perjalanan lintas benua.
Dukungan industri manufaktur Indonesia untuk pesawat komersial Boeing meliputi perusahaan-perusahaan penyuplai peralatan sistem avionik, suku cadang komposit, dan komponen mesin presisi.
Tak hanya itu, Boeing juga mendapatkan kontrak perakitan pesawat helikopter Apache untuk Indonesia pada 2015.
Setelah proses produksi dan uji terbang di fasilitas pabrik Boeing di Mesa, Arizona, AS, pesawat-pesawat AH-64E Apache untuk Indonesia dikirimkan pada akhir 2017 dan kuartal pertama 2018. Apache merupakan helikopter tempur multifungsi paling unggul di dunia.
“Solusi kami meliputi kemampuan pengintaian maritim jarak jauh menggunakan sistem peringatan dini Airborne Early Warning & Control (AEW&C) dan pesawat pengintai maritim P-8,”kata laporan Boeing.
Namun, reputasi Boeing 737 sempat tercoreng setelah kejadian kecelakaan pesawat pada 2018 lalu.
Di tahun tersebut, terjadi sebuah insiden menimpa pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air berkode penerbangan JT610 rute Jakarta-Pangkalpinang.
Pesawat ini jatuh beberapa saat setelah lepas landas di Laut Jawa, menewaskan seluruhnya 181 penumpang dan 8 kru.
Hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pilot sempat melaporkan adanya gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian, dan indikator kecepatan. Kerusakan ini terkait dengan maneuvering characteristic augmentation system (MCAS).
MCAS adalah fitur yang baru ada di Boeing 737 MAX 8 untuk memberbaiki karakteristik anggok pesawat pada kondisi flap up, manual flight dan AOA tinggi.
"Proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai. Juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS," terang KNKT.
(SLF)