Di samping itu, BOJ juga memiliki kewenangan terkait kebijakan yield curve control (YCC) atau kebijakan kontroversial yang menggabungkan target suku bunga jangka pendek negatif dengan batas 0% pada imbal hasil obligasi 10 tahun.
Secara khusus, YCC yang telah dijalankan Jepang selama enam tahun terakhir bertujuan untuk memacu ekonomi dengan mempertahankan suku bunga rendah. YCC menargetkan suku bunga jangka panjang dengan menetapkan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun di sekitar 0%.
Tetapi imbal hasil obligasi sepanjang tahun ini telah menghadapi tekanan karena suku bunga naik secara global. Sehingga BOJ melakukan intervensi dengan membeli obligasi dalam jumlah tak terbatas dari pasar untuk menjaga angka ini di bawah batas atas 0,25%.
Pentingnya Perubahan Fokus BOJ
Secara historis, di bawah tekanan kuat dari Perdana Menteri Shinzo Abe, pada 2013 pemerintah Jepang mengambil langkah lebih berani untuk mengendalikan deflasi. BOJ menandatangani pernyataan bersama dengan pemerintah pada tahun tersebut dan berkomitmen untuk mencapai target inflasi 2% "sedini mungkin".
Pernyataan itu juga menjabarkan peran yang akan dimainkan pemerintah, seperti menempatkan keuangan negara pada pijakan yang sehat, dan melakukan deregulasi dan reformasi struktural untuk mendorong potensi pertumbuhan ekonomi.
Namun, dalam setahun terakhir, inflasi telah melampaui target BOJ 2% selama tujuh bulan berturut-turut di bulan Oktober. Merespon hal ini, Kuroda menyerukan perlunya mempertahankan kebijakan ultra-longgar sampai upah pekerja dapat naik lagi.
Diketahui tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 3,7% pada Oktober 2022, kenaikan tertinggi sejak Januari 1991 dan naik dari bulan sebelumnya sebesar 3% di tengah tingginya harga komoditas mentah impor dan pelemahan yen yang terus-menerus.
Harga konsumen inti naik 3,6% secara year on year (yoy), terbesar sejak Februari 1982. Angka ini juga lebih tinggi dari perkiraan 3,5% dan di atas target 2% BOJ untuk bulan ketujuh berturut-turut. Secara bulanan, harga konsumen naik 0,6% di bulan Oktober, kenaikan tertajam sejak April 2014, setelah naik 0,3% di bulan September.
Hal ini berdampak pada pemerintahan Kishida yang saat ini menemui tantangan berat dalam ekonomi Jepang. Kondisi ini karena meningkatnya kemarahan publik atas meningkatnya biaya hidup, yang disebabkan salah satunya oleh kebijakan suku bunga ultra-rendah BOJ dan memicu penurunan yen yang meningkatkan biaya impor.
Mantan Deputi Gubernur BOJ Hirohide Yamaguchi, yang dianggap sebagai kandidat kuat untuk menggantikan Kuroda, mengatakan kepada Reuters bahwa bank sentral harus siap menaikkan target imbal hasil obligasi jika ekonomi dapat menahan risiko eksternal.
"Ada kemungkinan inflasi konsumen inti akan bertahan sekitar 3-4% untuk jangka waktu yang cukup lama. Begitu ekspektasi inflasi mengakar, sangat sulit bagi bank sentral untuk mengendalikannya. Itu risiko yang harus diperhatikan oleh BOJ," kata Yamaguchi. (ADF)