sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

OECD Proyeksi Inflasi RI Meningkat Jadi 2,3 Persen di 2025

Economics editor Febrina Ratna Iskana
03/06/2025 22:08 WIB
OECD memproyeksi inflasi Indonesia meningkat menjadi 2,3 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026.
OECD Proyeksi Inflasi RI Meningkat Jadi 2,3 Persen di 2025. (Foto: Inews Media Group)
OECD Proyeksi Inflasi RI Meningkat Jadi 2,3 Persen di 2025. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksi inflasi Indonesia meningkat menjadi 2,3 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026.

Hal itu karena efek dari diskon harga listrik sementara pada awal tahun 2025 memudar, dan depresiasi mata uang baru-baru ini secara bertahap memengaruhi harga domestik, seperti dikutip dari dokumen OECD Economic Outlook yang terbit Selasa (3/6/2025).

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi 1,6 persen year-on-year (yoy) pada Mei, dari sebelumnya 1,9 persen pada April. Secara bulanan RI mengalami deflasi 0,37 persen month-on-month (mom).

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 4,7 persen pada 2025, dan sedikit meningkat menjadi 4,8 persen pada 2026.

Hal itu terjadi akibat melemahnya sentimen bisnis dan konsumen baru-baru ini di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal. Selain itu, biaya pinjaman yang tinggi akan membebani konsumsi dan investasi swasta pada paruh pertama 2025.

Meningkatnya ketegangan perdagangan global baru-baru ini dan penurunan harga komoditas diperkirakan akan membebani permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.

Arus keluar modal yang terus-menerus didorong oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat memberikan tekanan baru pada mata uang, yang berpotensi menyebabkan pelebaran sementara defisit transaksi berjalan dan memicu inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi.

Selain itu, perlambatan yang lebih besar dari yang diperkirakan di China, pasar ekspor terbesar Indonesia, akan semakin membebani kinerja ekspor, terutama di sektor komoditas.

Sisi positifnya, Danantara yang baru didirikan secara cepat dan efektif dapat mengkatalisasi investasi swasta dengan memasukkan modal dan mempercepat implementasi proyek infrastruktur dan industri berdampak tinggi.

Lebih lanjut, OECD menyebut reformasi struktural diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Reformasi terkini telah mengurangi hambatan bagi investasi asing, tetapi hambatan signifikan bagi kepemilikan ekuitas asing tetap ada, terutama di sektor telekomunikasi dan transportasi.

“Selain itu, iklim investasi dipengaruhi oleh peraturan yang tumpang tindih, implementasi kebijakan yang tidak merata, dan koordinasi yang terbatas di antara lembaga pemerintah,” tulis lembaga tersebut.

Reformasi lebih lanjut di bidang itu akan menjadi semakin relevan dalam konteks ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan potensi konfigurasi ulang rantai pasokan.

 (Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement