Sri Lanka juga terus mengalami defisit perdagangan sepanjang 2022 dengan nilai defisit terparah di awal tahun lalu mencapai minus USD858,5 juta. Defisit perdagangan ini menurun menjadi USD 410 juta pada Januari 2023. (Lihat grafik di bawah ini.)
Impor telah turun 29,2% year-on-year (yoy) menjadi USD 1,39 miliar, di tengah penurunan pembelian barang modal (-48,6%), barang konsumsi (-39,3%) dan barang setengah jadi (-20%).
Pada saat yang sama, ekspor merosot 11,3% menjadi USD 978 juta, karena penurunan pengiriman produk industri (-12,4%), barang pertanian (-6,6%) dan produk mineral (-15,8%).
Sebagai negara tujuan pariwisata, sektor ini menjadi salah satu penopang ekonomi Sri Lanka. Pada Desember 2019, pariwisata Sri Lanka menghasilkan pendapatan negara sebesar USD450 juta berdasarkan data bank sentral Sri Lanka.
Namun, pandemi Covid-19 membuat sektor pariwisata mati suri, di mana orang-orang dilarang untuk berpergian apalagi untuk berlibur. Pariwisata Sri Lanka menjadi salah satu yang paling terdampak akan kondisi ini.
Pada Desember 2021, bank sentral Sri Lanka melaporkan pendapatan bulanan sektor pariwisata menghasilkan sebesar USD233 juta di tengah upaya pemulihan pasca pandemi.
Pemerintah melakukan pembangunan secara besar-besaran dan banyak berinvestasi pada infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan pasca perang saudara yang berakhir pada 2009.
Dana infrastruktur itu berasal dari utang dan negara itu kini dibebani dengan beban utang sebesar USD51 miliar, termasuk di antaranya sebesar USD6,5 miliar merupakan utang ke pemerintah China.
Dengan dana talangan IMF, perekonomian Sri Lanka diperkirakan akan tumbuh lagi mulai akhir tahun ini dan pemerintah yang baru berharap negara itu akan keluar dari krisis ekonomi pada tahun 2026. (ADF)