IDXChannel - Dunia sedang berduka mendengar kabar kematian Ratu Inggris, Elizabeth II, Kamis (8/9). Ratu Elizabeth II telah menjabat tahta kerajaan Inggris selama 70 tahun.
Lahir pada tahun 1926, Elizabeth merupakan putri dari Raja George VI. Setelah kematian ayahnya, Elizabeth yang berusia 25 tahun dipanggil untuk naik takhta.
Ia memimpin periode pemerintahan yang penting. Salah satunya, posisi Inggris dalam menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Ia juga merupakan saksi kunci berbagai peristiwa perubahan sosial dunia.
Keikutsertaan dalam Perang Dunia II
Ketika Perang Dunia II pecah pada 1939, Putri Elizabeth baru berusia 13 tahun. Seperti dicatat oleh The National World War II Museum, ketika Istana Buckingham dibom pada tahun 1940, ayahnya Raja George VI dan istrinya, Elizabeth, untuk menunjukkan solidaritas dengan penduduk lainnya.
Namun, putri Elizabeth dan putri Margaret, adiknya, dievakuasi ke Kastil Windsor yang berjarak 20 mil jauhnya.
Pada tahun 1945, ketika dia berusia 19 tahun, Elizabeth diberi izin untuk bergabung dengan upaya militer. Dia bergabung dengan Women's Auxiliary Territory Service (ATS) dan dilatih selama enam minggu sebagai montir mobil.
Meskipun kala itu keluarga kerajaan tidak mengizinkan pewaris takhta berada dalam bahaya, tetapi Elizabeth menolak mematuhinya.
Menurut majalah Time dedikasi sang putri muda untuk negaranya dan kesediaannya untuk melayani sama seperti orang lain membuatnya sangat populer dan memicu kecintaan seumur hidupnya pada mobil dan pekerjaan mekanik.
Pelopor Transformasi Commonwealth
Pada saat Elizabeth naik takhta pada 1952, Kerajaan Inggris mulai mengalami ketidakstabilan pemerintahan. Mengutip The Imperial War Museums, sebelum Perang Dunia II, Inggris mengukuhkan posisi sebagai kerajaan terbesar dunia dan reputasi sebagai kekuatan dunia.
Seperti dicatat Politico, pada puncaknya, Kerajaan Inggris memegang 57 koloni atau yang terdiri dari sekitar seperempat luas daratan dunia. Tapi setelah tertatih-tatih di ambang kekalahan total dan muncul ke dunia baru yang didominasi oleh Amerika Serikat, kejayaan dan eksistensi Inggris mulai tergoyahkan.
Banyak koloni yang mulai memisahkan diri dan mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka. Peristiwa ini dimulai dari Mesir pada 1922 sampai dengan India pada 1947.
Meskipun proses pembentukan commonwealth atau persemakmuran dimulai pada akhir abad ke-19, menurut Britannica, Ratu Elizabeth II harus memimpin negara melalui proses yang cepat.
Ketika dia dinobatkan sebagai ratu, persemakmuran memiliki delapan negara anggota dan berkembang hingga saat ini sebanyak 54. Hal tersebut menunjukkan Ratu Elizabeth mengawasi proses seluruh Kerajaan Inggris berubah menjadi asosiasi sukarela negara-negara berdaulat.
Otoritasnya sendiri sebagian besar menjadi seremonial. Di tengah kerajaan-kerajaan lain mulai tumbang, Elizabeth mampu mengkonsolidasikan persemakmuran dengan damai dan tertib.
Kunjungi Republik Irlandia pada 2011
Inggris Raya memiliki sejarah kekerasan dengan banyak bekas kekuasaannya, salah satunya Republik Irlandia. Didominasi oleh Inggris selama berabad-abad, Irlandia terpecah menjadi dua negara bagian ketika partai nasionalis Sinn Féin mendeklarasikan Republik Irlandia baru, mengutip Britannica.
Kunjungan kenegaraan Ratu Elizabeth II ke Irlandia tahun 2011 ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Dia adalah ratu pertama yang melakukan kunjungan resmi ke negara itu sejak kemerdekaannya.
Dia meletakkan karangan bunga di monumen untuk mereka yang wafat melawan Inggris dan untuk kebebasan Irlandia. Ia juga menundukkan kepalanya dengan hormat. Hal ini dapat mencerminkan sebagai sebagai sinyal bahwa Ratu mengakui kesalahan negaranya sendiri.
Menurut The Guardian, perjalanan dan sikap itu membuat Ratu Elizabeth II sangat populer di negara yang biasanya membenci monarki sebagai mantan penindas. Kunjungan tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa, terutama mengingat sang ratu tidak memiliki kekuatan politik sejati.
Dukung Keadilan Rasial di Commonwealth
Meskipun Elizabeth adalah seorang kulit putih yang memiliki hak istimewa secara keseluruhan, ia mendukung kesetaraan ras dan kemajuan di dunia. Mengutip The New York Times, pada tahun 1961, dia menari dengan presiden Ghana, Kwame Nkrumah, seorang pria kulit hitam.
Meskipun menyulut pro kontra dari banyak pihak, termasuk keluarga kerajaan sendiri, akan tetapi sang ratu tegas dalam mendukung kesetaraan ras antara kulit putih dan kulit hitam.
Ia juga bekerja di belakang layar untuk mendorong Persemakmuran mengutuk sistem apartheid Afrika Selatan. Menurut The Washington Post, sang ratu juga disebut mendukung gerakan anti kekerasan rasial Black Lives Matter (BLM). (ADF)