Inilah alasan disrupsi yang terjadi baik dari sisi supply maupun perdagangan serta dari sisi distribusi akan sangat menentukan inflasi.
"Inflasi tertinggi terjadi di tahun 2022, seluruh dunia mengalami kenaikan yang sangat tinggi, inflasinya di 8,7% dari yang tadinya 0%, atau mendekati 0. Negara maju, bahkan beberapa di antaranya mengalami deflasi namun kemudian melonjak menjadi 7,3%," tambah Sri.
Hal ini menggerus daya beli, dan berdampak pada permintaan yang menurun, kegiatan produksi pun juga akan mulai menurun. Indikator PMI Manufaktur di Juni 2023, mayoritas sebesar 61,9% dari negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi, di antaranya adalah AS, Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Singapura.
Sebanyak 23,8% yang ekspansinya melambat, antara lain China, Thailand, Filipina, India, dan Rusia. Kemudian hanya 14,3% yang mengalami ekspansi dan akselerasi, yaitu Indonesia, Turki, dan Meksiko.
"Ini yang kontraksi negara-negara besar, bahkan negara tetangga kita Malaysia dan Vietnam juga kontraktif, ini yang menggambarkan bahwa dampak perlemahan ekonomi global akibat termasuk salah satunya inflasi yang menggerus daya beli itu sangat besar," pungkas Sri.
(SLF)