Kendati demikian, menurut Hasran, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pelatihan SDM di sektor kendaraan listrik.
"Untuk membiayai keduanya, mengandalkan APBN saja tidak cukup. Perlu ada skenario insentif yang lebih baik agar perusahaan kendaraan listrik juga mau melakukan kegiatan dan menyediakan pelatihan bagi pekerjanya maupun pihak luar," ungkapnya.
Selain itu, sambung Hasran, Indonesia perlu menetapkan prioritas utama dan fokus pada prioritas tersebut. Indonesia perlu menentukan, apakah dia ingin menjadi produsen baterai listrik, produsen kendaraan listrik ataukah keduanya.
Baterai adalah komponen utama dari kendaraan listrik dengan sumbangsih 35% dari keseluruhan biaya manufaktur EV. Rantai nilai yang dimiliki oleh baterai listrik saja sudah sangat kompleks mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai, dan perakitan baterai.
Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri hingga daur ulang EV. Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan.
(SLF)