IDXChannel - Kementerian Pertanian melaporkan realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) sangat minim dalam acara Rakornas Kelapa Sawit 2023, Senin (27/2). Sejak 2017 hingga 2022, jumlah lahan sawit yang telah diremajakan hanya 278.200 hektare (ha).
Direktur Jenderal Perkebunan Andi Nur Alam Syah mengatakan terdapat 2,8 juta ha lahan sawit berpotensi diremajakan. Ia mengatakan, realisasi selama ini hanya 9,93% saja dari jumlah lahan potensial tersebut.
"Kita bersama memahami bahwa realisasi PSR masih sangat rendah sejak tahun 2017-2022 capaian kita sebesar 278.200 hektare” kata Andi dalam acara tersebut di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Senin (27/2).
Pemerintah menargetkan peremajaan sawit melalui PSR mencapai 180.000 ha per tahun.
Sayangnya, program PSR ini selalu di bawah target dalam tiga tahun terakhir. Realisasi peremajaan kelapa sawit pada 2017 hanya mencapai 14,79 ribu ha, atau 71% dari target 20,78 ribu ha.
Pada 2018 realisasi PSR meningkat seluas 33,8 ribu ha, namun hanya 18% dari target 185 ribu ha.
Pada 2019, realisasi peremajaan sawit hanya mencapai 68,4 ribu ha atau 38% dari target 180 ribu ha. Target ini telah direvisi dari sebelumnya 200 ribu ha.
Menurut rilis BPDP KS, pada 2020 realisasinya mencapai 94,03 ribu hektar, tetapi pada 2021 turun jadi 42,21 ribu hektar. Itu artinya, jika Dirjen Perkebunan mengklaim capaian PSR 2017-2022 sebesar 278.200 hektare, maka 2022 realisasinya hanya sekitar 24.894 hektar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Padahal, program PSR sangat penting dalam mengoptimalkan produktivitas sawit nasional.
Peremajaan Rendah, Produktivitas Sawit Terancam
Indonesia masih tetap memimpin dalam produksi sawit secara global. Berdasarkan data terbaru dari US Department of Agriculture, Indonesia masih menduduki peringkat utama produksi CPO dunia. Indonesia memproduksi sebanyak 45,5 juta metrik ton (MT) pada 2022.
Riau menjadi provinsi penyumbang produksi terbesar mencapai 27%. Adapun Sumatera Utara sebesar 15%, Sumatera Selatan 10%, Jambi 8%, dan Kalimantan barat 6%. Jumlah ini menjadikan Indonesia menguasai 59% dari produksi dunia.
Di urutan kedua, Malaysia memproduksi sebanyak 19 juta metrik ton dan menyumbang 25% produksi dunia. Sementara Thailand di posisi ketiga dengan produksi 3,26 juta MT dan Colombia 1,84 juta MT.
Selama ini, produktivitas sawit RI bergantung pada 3 sumber utama, yakni perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat.
Data Kementan 2022 menunjukkan, total luasan lahan sawit Indonesia sebanyak 800 ribu ha atau sebesar 5% dan dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara, 8,64 juta ha atau sekitar 53% dikuasai perusahaan swasta dan sekitar 6,94 juta ha atau 42% lainnya merupakan perkebunan sawit rakyat.
Artinya, perkebunan sawit rakyat masih memainkan peran penting dalam produksi sawit. Namun, produktivitas sawit rakyat selama ini tergolong masih rendah.
Data BPS pada 2020 menunjukkan, produksi CPO Indonesia masih didominasi perkebunan besar negara yang mencatat poduktivitas tertinggi. Sementara perkebunan rakyat mencatatkan produktivitas terendah dengan rincian sebagai berikut:
- Perkebunan besar negara 4.743 kg/ha/tahun
- Perkebunan besar swasta 3.984 kg/ha/tahun
- Perkebunan rakyat 3.273 kg/ha/tahun
Untuk itu, Kementan mengatakan program PSR merupakan momentum perbaikan tata kelola perkebunan sawit rakyat. Ini merupakan langkah untuk meningkatkan produktivitas kebun rakyat.
"Peremajaan sawit rakyat jangan hanya dipandang bagaimana cara kita memperbaiki tanaman kelapa sawit yang sudah tua atau tidak produktif saja. Tapi peremajaan sawit rakyat harus mampu menciptakan inovasi, optimalisasi sumber daya lahan serta pemberdayaan bagi petani sawit," imbuh Andi.
Di lain pihak, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkap ada sejumlah penyebab peremajaan sawit rendah sampai saat ini.
Pertama, soal syarat yang masih berbelit-belit untuk mendapatkan bantuan PSR, terutama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ATR/BPN.
Ketua Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, KLHK masih mensyaratkan lahan sawit harus bebas dari kawasan hutan, yang memerlukan dokumen yang cukup banyak.
"Padahal Undang-undang Cipta Kerja sudah mengatakan yang 5 hektar ke bawah, (kepemilikan) lima tahun minimal dikuasai itu clear, tapi kami kan butuh surat. Lantas suratnya gimana? Suratnya diurus segala macem, petani sawit nggak akan mampu itu," ungkapnya.
Akibatnya, realisasi peremajaan sawit pada 2022 saja disebut menjadi yang terendah dalam sejarah karena tidak ada sawit yang diremajakan tahun lalu di Riau hingga Aceh.
"PSR itu tahun lalu adalah terburuk dalam sejarah tahun 2022. beberapa provinsi 0%, Riau-Aceh sebagai pusat sawit. Karena persyaratanya yang banyak dan petani nggak bisa mengerjakan itu," imbuh Gulat.
Selain persyaratan yang berbelit-belit, petani juga mengeluhkan harga pupuk yang meroket mencapai 300%. Akibatnya, petani enggan melakukan peremajaan karena tak mendapat subsidi PSR. (ADF)