"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK September 2025 mencatat inflasi 0,21 persen month to month (mtm), sehingga secara tahunan inflasi tercatat 2,65 persen year on year (yoy)," kata Ibrahim dikutip Sabtu (4/10/2025).
BI menilai inflasi inti September 2025 tercatat 0,18 persen (mtm), dipicu kenaikan harga emas perhiasan serta biaya kuliah. Namun, BI optimistis inflasi akan tetap terjaga dalam kisaran sasaran pada 2025 dan 2026.
Selain itu, persepsi risiko terhadap Indonesia membaik, tercermin dari Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun yang turun ke 78,87 basis poin (bps) pada 2 Oktober 2025, dibandingkan 83,04 bps pada akhir September 2025.
Ibrahim menambahkan, pergerakan Rupiah juga dipengaruhi sentimen eksternal. Pasar global sebagian besar mengabaikan kekhawatiran dampak langsung penutupan pemerintah AS, dan lebih berfokus pada data ketenagakerjaan swasta yang menunjukkan kelemahan.
"Pasar lebih fokus pada data ketenagakerjaan swasta minggu ini, terutama karena data penggajian non-pertanian pemerintah September tertunda akibat penutupan pemerintah,” kata Ibrahim.
Kelemahan pada data ketenagakerjaan AS tersebut membuat investor fokus pada peluang pemangkasan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) pada Oktober.
Menurut CME Fedwatch, peluang pemangkasan lagi sebesar 25 basis poin pada akhir Oktober mencapai 99,3 persen, setelah The Fed sebelumnya memangkas 25 basis poin pada September.
Di sisi global, Dollar Index (DXY) tercatat melemah ke level 97,85, sementara yield US Treasury Note 10 tahun turun ke 4,083 persen.
Ibrahim memprediksi, dengan mempertimbangkan sentimen internal dan eksternal yang positif, Rupiah kembali berpotensi menguat pada pekan berikutnya.
“Untuk perdagangan Senin depan, rupiah diperkirakan fluktuatif namun ditutup menguat di kisaran Rp16.520–Rp16.560 per dolar AS,” kata Ibrahim.
(Nur Ichsan Yuniarto)