sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

RUU EBET Disebut Bikin RI Terjebak Pakai Energi Fosil Lebih Lama

Economics editor Carlos Roy Fajarta Barus
07/02/2023 07:17 WIB
Sejumlah pakar di bidang energi dan lingkungan hidup menilai RUU EBET bisa menyebabkan Indonesia terjebak menggunakan energi fosil lebih lama.
RUU EBET Disebut Bikin RI Terjebak Pakai Energi Fosil Lebih Lama. (Foto: Ilustrasi/MNC Media)
RUU EBET Disebut Bikin RI Terjebak Pakai Energi Fosil Lebih Lama. (Foto: Ilustrasi/MNC Media)

Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini menyebutkan Indonesia memerlukan aturan tentang energi terbarukan yang detail dan bisa memberi kepastian hukum untuk mengisi kekosongan yang belum diatur di UU yang sudah ada. 

"Namun sayangnya substansi RUU EBET belum menjawab persoalan urgensi transisi energi,” kata Grita Anindarini.

Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal–merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019. 

Adapun WNISR 2022 mencatat, biaya pembangunan pembangkit energi matahari turun hingga 90 persen dan angin turun 72 persen, sedangkan nuklir justru naik 36 persen.

Tak hanya itu, RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun sayangnya, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan. 

Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Riset yang ada saat ini menunjukkan, baru satu persen green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia–selebihnya masih dari energi fosil. 

“Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen seperti apa yang akan kita kembangkan agar tidak salah arah. Sayangnya, RUU EBET gagal untuk membahas hal ini,” kata Grita Anindarini.

Sementara itu, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengatakan jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. 

"Sumber energi baru seperti batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara. Gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar USD377 juta per tahun," kata Beyrra.

Selain itu, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan. 

"Biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU, sehingga seharusnya tidak direkomendasikan sebagai energi terbarukan," jelasnya.

Karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon. Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan 'utang karbon' atau kelebihan karbon di atmosfer.

“Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” pungkas Beyrra.

 (FRI)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement